Login With Facebook

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Tampilkan postingan dengan label pengertian taqwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengertian taqwa. Tampilkan semua postingan

lanjutan 10 PETUNJUK MEMILIH SUAMI Oleh : Drs. M. Thalib


5.      Taat Kepada Orang Tuanya

Disebutkan dalam Hadits berikut : Dari Mu'awiyah bin Jahimah, sesungguhnya Jahimah berkata : "Saya datang kepada Nabi SAW, untuk minta izin kepada beliau guna pergi berjihad, namun Nabi SAW bertanya: "Apakah kamu masih punya ibu bapak (yang tidak bisa mengurus dirinya)?". Saya menjawab : "Masih". Beliau bersabda : "Uruslah mereka, karena syurga ada di bawah telapak kaki mereka"."(H.R. Thabarani, Hadits hasan)

Disebutkan pula dalam Hadits berikut : Dari Ibnu 'Umar RA ujarnya: "Rasulullah SAW bersabda: "Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya kelak anak-anak kalian berbakti kepada kalian; dan peliharalah kehormatan (istri-istri orang), niscaya kehormatan istri-istri kalian terpelihara"." (H.R. Thabarani, Hadits hasan)

Penjelasan :
Anak yang taat kepada orangtua yaitu anak yang mematuhi perintah orang tua dan tidak melanggar larangannya selama hal yang diperintahkan atau yang dilarangnya sesuai dengan syari'at Islam. Anak semacam ini mendapat jaminan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Hadits pertama menjelaskan bahwa mengurus kepentingan orang tua yang telah lanjut usia atau sedang sakit lebih utama daripada pergi berperang melawan musuh-musuh agama.

Ketaatan anak kepada orang tua dalam rangka menjalankan perintah agama menjadikan mereka ridla. Keridhaan ibu dan bapak kepada anaknya dapat mengantarkan anaknya masuk syurga kelak di akhirat. Hal ini membuktikan bahwa ketaatan anak kepada orang tua atau ibu bapak merupakan kunci pokok bagi keselamatan anak dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Anak yang taat kepada orang tua dapat diharapkan akan bisa memimpin keluarganya ke jalan yang diridlai oleh Allah.

Hadits kedua menerangkan bahwa seorang anak yang berbakti kepada ibu bapaknya kelak menjadi orang tua yang ditaati oleh anak-anaknya karena dia telah memberi teladan kepada anak-anaknya secara konkret dalam berbakti kepada orang tua. Keteladanannya sangat berpengaruh pada anak-anaknya. Sekalipun anak-anaknya tidak menyaksikan secara langsung ayah dan ibunya taat kepada orang tuanya, perilaku dan tutur katanya yang baik selalu menjadi kepribadian mereka. Hal semacam ini menjadi bekal diri mereka dalam membina rumah tangga.

Anak dapat merasakan pancaran batin dari orang tua yang taat kepada orang tuanya sehingga hal tersebut secara psikologis dirasakan oleh anak-anaknya, kemudian mendorong mereka untuk taat kepada orang tuanya juga. Rahasia psikologis semacam ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas sebagai bukti bahwa pengaruh perbuatan shalih seorang anak terhadap orang tuanya akan dapat berpancar pula pada anaknya kelak.

Karena pentingnya seorang muslimah mendapatkan suami yang mengerti tanggung jawab dan taat kepada orang tuanya, hendaklah perempuan perempuan muslim memperhatikan hal ini. Para perempuan muslim tidak seharusnya hanya melihat keadaan fisik dan penampilan lahir seorang laki-laki tanpa mempedulikan sikap dan perilakunya apakah ia orang yang taat kepada orang tuanya ataukah durhaka kepada mereka.

Bila ternyata calon suaminya orang yang durhaka kepada orang tuanya, tidak mustahil ia akan berlaku durhaka pula kepada istrinya. Hal ini bisa terjadi sebab jika terhadap orang tuanya sendiri saja sudah durhaka, sudah tentu ia menganggap satu hal yang remeh bila memperlakukan istrinya secara tidak baik. Hati nurani seorang semacam ini sudah tidak baik sehingga kemampuan untuk menimbang baik buruk suatu perbuatan pun menjadi lemah. Ia hanya mengejar egonya sendiri sekalipun bertentangan dengan aturan agama atau bertentangan dengan kepentingan orang lain.

Bila ternyata sikap dan perilakunya sehari-haari sering menyakitkan hati orang tua atau menyusahkan atau melawan perintah dan larangannya, dapat diduga bahwa lelaki semacam itu mengalami gangguan mental. Mungkin sekali yang bersangkutan berada dalam suasana kejiwaan yang memerlukan perawatan kesehatan mental. Menghadapi orang semacam ini tentu tidak mudah sebab kepribadiannya biasanya mudah goyah dan cenderung tidak bertanggung jawab. Setiap perempuan sudah tentu tidak akan menyukai laki-laki yang menjadi suaminya memiliki mental labil dan tidak mengerti tanggung jawab secara benar. Sebaliknya, ia mengharapkan laki-laki yang mentalnya sehat dan memiliki tanggung jawab tinggi dalam menjalani kehidupan sehari-hari,terutama melaksanakan tanggung jawab terhadap keluarga.

Untuk mengetahui apakah calon suami termasuk orang yang taat kepada orang tua atau suka menentang dan menyalahi kehendak baiknya, seorang muslimah dapat menyelidiki dengan menanyakan hal tersebut kepada anggota keluarga atau kerabat dekat atau tetangga dekatnya.

Mengingat sangat pentingnya perilaku baik seorang suami dan kecintaannya kepada anggota keluarga, hendaklah para perempuan muslim lebih dahulu meneliti sikap calon suaminya terhadap orang tuanya. Bila ia termasuk laki-laki yang taat dan berbakti kepada ibu bapaknya, laki laki semacam ini baik untuk dujadikan suami. Insya Allah , kelak rumah tangganya akan berbahagia.

6.      Mandiri dalam Ekonomi

            Rasulullah SAW bersabda : "Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu (untuk membelanjai) kawin, hendaklah ia kawin, karena kawin itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri" (H.R.Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :

Dalam Hadits di atas Rasulullah SAW berseru kepada para pemuda yang telah mampu mencari nafkah sendiri sehingga sanggup memikul beban belanja perkawinan dan berumah tangga, agar segera kawin.

Kita semua menyadari bahwa hidup berumah tangga mengharuskan adanya pembiayaan. Siapakah yang wajib memikul tanggung jawab ini? Islam menetapkan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah suami. Oleh karena itu, mereka yang dibenarkan untuk segera kawin atau berumah tangga adalah yang mandiri membiayai keperluan hidup dirinya dan keluarganya.

Kebutuhan yang cukup mencakup keperluan makan dan minum sehari-hari, tempat tinggal dan pakaian. Mungkin sekali suami hanya bisa menyediakan tempat tinggal sewaan. Akan tetapi, selama ia bisa membayar sewanya, dia dianggap bisa memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya. Sebaliknya, bilamana ternyata penghasilan riil suami tidak cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari yang minimal sekalipun, padahal dia sudah berusaha keras, dia dikategorikan tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara cukup.

Prinsip suami bertanggung jawab membiayai keperluan berumah tangga merupakan suatu ketentuan yang mengharuskan setiap suami atau laki-laki yang hendak beristri mempunyai penghasilan sendiri. Ia tidak boleh mengharapkan pemberian orang lain atau subsidi keluarga guna menopang keperluan hidupnya. Jadi, kemampuan untuk mendapatkan nafkah sendiri menjadi tolok ukur layak tidaknya seorang laki-laki menjadi suami.

Islam menetapkan bahwa setiap orang wajib memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sendiri dan melarang meminta-minta, sekalipun pada keluarganya. Menadahkan tangan kepada orang lain adalah perbuatan tercela, apalagi bila dilakukan setiap hari, sudah tentu lebih tercela, baik menurut ajaran agama maupun menurut pandangan masyarakat.

Sekalipun Islam menganjurkan agar anggota masyarakat yang mampu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin supaya dapat berumah tangga atau memberikan bantuan kepada mereka yang telah berumah tangga tetapi mengalami kekurangan, hal ini tidak boleh dijadikan sandaran utama untuk mendapat bantuan. Demikianlah, sebab orang-orang yang kekurangan tidak hanya satu dua orang, tetapi banyak. Walaupun masyarakat yang kaya atau mampu mau memberi bantuan, tentu akan banyak pula yang tidak memperolah bagian jika jumlah orang yang membutuhkannya jauh lebih banyak.

Oleh karena itu, seorang perempuan muslim yang hendak membina rumah tangga harus benar-benar memperhatikan calon suaminya apakah telah mendiri dalam membelanjai kebutuhan hidupnya ataukah masih bergantung pada orang lain. Sekiranya yang bersangkutan sudah bekerja dan mendapatkan penghasilan tetapi tidak cukup untuk kebutuhan dirinya sendiri, laki-laki semacam itu dianggap orang yang belum mampu membelanjai kebutuhannya. Dia masih butuh bantuan orang lain.

Untuk mengetahui apakah laki-laki calon suami benar-benar orang yang mampu mandiri dalam memenuhi nafkah keluarga, dapatlah ditempuh upaya penelitian dan pembuktian dengan menanyakan secara langsung atau menanyakan kepada keluarganya dan teman-teman dekatnya atau para tetangganya apakah dia benar-benar sudah bekerja atau belum. Bilamana ia telah bekerja, perlu juga ditanyakan apakah penghasilannya layak untuk bersuami istri atau belum.

Bilamana ternyata yang bersangkutan belum mampu untuk membelanjai dirinya sendiri dari hasil usahanya, apalagi belum bekerja, sebaiknya perempuan yang hendak menjadi calon istrinya mempertimbangkan pemilihannya dengan baik. Ini perlu diperhatikan sebab bila kelak ternyata suaminya tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga, sudah tentu hal semacam ini dapat menimbulkan malapetaka keluarga.

Para perempuan yang hendak berumah tangga, boleh saja menerima laki-laki yang masih menganggur atau berpenghasilan tidak cukup untuk hidup berumah tangga. Menurut syari'at Islam, perkawinannya tetap sah. Akan tetapi,perbuatan semacam ini jelas bertentangan dengan seruan Rasulullah SAW di atas. Maksudnya, dari sisi tanggung jawab membina rumah tangga pemilihan suami pengangguran merupakan suatu tindakan yang tercela walaupun tidak haram.

Muslimah yang telah rela bersuamikan laki-laki yang belum mandiri dalam ekonomi bilamana mengalami penderitaan dan kegagalan membangun rumah tangga yang penuh ketentraman, kasih sayang dan kesejahteraan, hendaklah tidak menyalahkan orang lain. Dia harus menanggung resiko sendiri sebab langkah awal yang dia ambil sudah melanggar anjuran rasulullah, yaitu tidak memilih suami yang benar-benar memiliki kemampuan materi untuk memikul beban rumah tangga.

Ada kalanya seorang muslimah rela tidak dibelanjai oleh suaminya, bahkan bersedia membantu kehidupan suami. Hal semacam ini adalah amal baik istri kepada suami. Oleh karena itu, selama seorang muslimah rela bersuamikan seorang laki-laki miskin sedang dia bermaksud memelihara agama dan kehormatan suaminya, langkahnya dinilai sebagai suatu amal shalih yang sangat terpuji.

Ringkasnya, perempuan muslim atau orang tua atau walinya hendaklah benar-benar memperhatikan kemandirian atau kemampuan materiil calon suaminya atau calon menantu atau calon suami perempuan di bawah perwaliannya. Kemampuan tersebut haruslah dapat dibuktikan secara konkret sebelum menempuh perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar begitu mereka memasuki dunia rumah tangga, kebutuhan hidup sehari-harinya dapat tercukupi walaupun minimal. Dengan cara semacam ini, insya Allah akan terjaga kehormatan diri mereka dan terjauh pula mereka dari perbuatan meminta-minta bantuan kepada orang lain.

7.      Kualitas Dirinya Setaraf atau Lebih Baik

Disebutkan dalm Hadits berikut : "Manusia itu ibarat barang tambang, ada yang emas dan ada yang perak.Mereka yang terbaik pada zaman Jahiliyah, tetap terbaik pula pada zaman Islam, asalkan mereka memahami agama." (H.R. Bukhari)

Penjelasan :

Hadits di atas menerangkan bahwa kualitas manusia berbeda-beda sebagaimana kualitas barang tambang; ada emas, perak, perunggu dan lainnya. Kualitas orang dinilai baik bilamana ia mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang baik, terutama sekali pendidikan dan pembinaan agama sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.

Kualitas yang dituntut oleh Islam bukanlah kualitas materiil, melainkan kualitas keagamaan mencakup pengetahuan, intelektual, mental, emosi, ketaatan serta kesungguhan dan keteguhan berpegang pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Pengetahuan agama yaitu pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam.
Intelektual yaitu kemampuan untuk menggunakan akal secara jernih untuk memecahkan kesulitan.

Mental yaitu pikiran dan sikap yang baik sehingga tahu bagaimana seseorang harus berlaku baik kepada orang lain sesuai tuntunan Islam dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya.

Emosi yaitu kemampuan untuk bersikap tenang dan mengendalikan perasaan sehingga tidak dikuasai oleh perasaan permusuhan, kebencian, atau marah dalam menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.

Ketaatan yaitu kesungguhan secara ikhlas mengikuti aturan-aturan agama dan aturan lain yang tidak menyalahi agama.

Kesungguhan dan keteguhan adalah kemantapan berpegang pada aturan agama walaupun menghadapi berbagai macam rintangan.

Seseorang harus memiliki keenam hal tersebut agar tidak mudah terjerumus kedalam kesalahan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya.

Untuk mengetahui kualitas diri dan pribadi calon suami dapat ditempuh upaya-upaya antara lain :

1.      Mengetes yang bersangkutan tentang hal-hal berikut :

a.       Pengetahuan agamanya.
b.      Inteletualnya, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya bila dia tidak mempunyai uang untuk pulang, sedangkan dia mendapat kabar orang tua di kampung sakit keras.
c.       Mentalnya, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya bila dia diamanahi uang untuk disampaikan kepada orang lain, sedangkan pada saat yang sama dia memerlukan uang untuk berobat.
d.      Emosinya, misalnya dengan menanggapi apa yang dia lakukan bila terlambat mendapat bagian makanan.
e.       Ketaatannya, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya jika dia dilarang masuk ke suatu ruangan, sedangkan di tempat itu dompetnya tertinggal.
f.       Kesungguhan dan keteguhan, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya bila disuruh menjaga pintu keluar masuk karyawan, apakah orang yang terlambat dilarang dengan tegas supaya tidak masuk walaupun ia saudaranya sendiri atau calon istri.

2.      Mengetahui tingkat pendidikan yang bersangkutan karena hal ini berpengaruh pada intelektualitasnya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, akan semakin tinggi pula intelektualnya. Dengan tingkat intelektual yang tinggi, seseorang akan mampu memecahkan permasalahan secara rasional dan baik. Hal ini amat diperlukan oleh seseorang yang menjadi pimpinan dan penanggung jawab rumah tangga.

Dengan mengetahui kualitas calon suami, perempuan yang akan menjadi istrinya akan dapat mengukur apakah yang bersangkutan setaraf dengan dirinya atau tidak.

Pasangan suami istri yang memiliki kualitas pribadi yang setaraf akan bisa menciptakan pergaulan yang baik sehingga tidak akan terjadi kesenjangan pikiran. Adanya perbedaan kualitas diri suami dan istri akan menimbulkan kesulitan dalam mengadakan komunikasi yang baik dan kesulitan untuk saling memahami keinginan yang masing-masing.

Walaupun menurut agama tidak ada larangan menjalin perkawinan dengan pasangan yang miliki perbedaan kualitas diri dalam praktek pergaulan sehari-hari hal ini dapat menumbulkan dampak negatif. Hal semacam ini tentu tidak dikehendaki oleh siapapun.

Para perempuan memang sangat mendambakan calon suaminya memiliki kelebihan daripada dirinya supaya perjalanan hidup rumah tangganya dipenuhi suasana bahagia dan penuh kesejahteraan. Islam pun menegaskan bahwa salah satu dari fungsi perkawinan adalah terciptanya suasana akrab sakinah, mawaddah dan rahmah. Semua ini hanya bisa dicapai bila laki-laki yang menjadi suaminya benar-benar berkualitas dan berpribadi baik.

Jadi, para perempuan benar-benar harus memperhatikan kualitas calon suaminya apakah lebih baik, setaraf ataukah lebih rendah dari pada dirinya.

Bila laki-laki yang dimaksud setaraf atau lebih baik, orang semacam ini sangat baik menjadi suami. Akan tetapi, jika lebih rendah, hendaklah mereka mempertimbangkan penerimaanya sebagai suami. Hal ini perlu dilakukan sebab dengan kualitas suami yang lebih rendah besar kemungkinan akan timbul banyak permasalahan dalam membina rumah tangga kelak. Berumah tangga dengan suami semacam itu tentu akan lebih sulit menciptakan suasana harmonis, bahagia dan penuh kasih sayang. Bukankah tujuan berumah tangga adalah meraih kehidupan yang lebih bahagia, penuh ketenangan dan kasih sayang.

8.      Dapat Memimpin

Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisaa' ayat 34 : "Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka..."

Penjelasan :

Ayat di atas menerangkan bahwa laki-laki diberi kodrat memimpin oleh Allah. Kodrat yang Allah berikan ini merupakan kelebihan laki-laki dari perempuan. Oleh karena itu, sudah menjadi ketetapan Allah bahwa orang yang bertanggung jawab memimpin di dalam rumah tangga adalah suami. Selain itu, para suami diwajibkan memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Adanya kodrat dan kewajiban semacam ini berarti menuntut adanya kemampuan pihak laki-laki untuk memimpin istri dan anggota keluarganya dalam kehidupan sehari-hari.

Fungsi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga adalah meluruskan kesalahan istri, meninggatkan ketaqwaan istri, memperluas pengetahuan dan pemahaman istri mengenai tanggung jawabnya terhadap suami dan keluarga, menolong istri memecahkan kesulitan yang dihadapi dan mendorong istri untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan mentalnya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari terutama dalam mendidik anak-anak.

Kebutuhan seorang istri terhadap kepemimpinan suami merupakan hal yang fitrah. Setiap istri mendambakan suaminya menjadi tempat menanyakan pemecahan segala masalah yang dihadapi keluarga. Oleh karena itu, suami dituntut untuk menunjukkan sikap kepemimpinan yang bijak.

Seorang suami yang tidak dapat memimpin rumah tangganya tentu akan menjadi beban bagi istrinya. Ketika istrinya menghadapi kesulitan, dia tidak akan mampu memecahkan masalahnya atau tidak akan mampu memberi bimbingan pemecahan masalah, padahal hal semacam ini jelas memberatkan pikiran dan hati istri. Suami selalu berlepas tangan bilamana keluarganya menghadapi kesulitan memecahkan masalah-masalah keluarga, baik secara materill maupun mental. Bahkan terkadang suami tidak mau diajak oleh istrinya untuk memusyawarahkan kesulitan-kesulitan keluarga dan hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Keadaan semacam ini akan menjadi kemelut bagi keluarga. Yang merasa kebingungan bukan hanya istri, melainkan juga anak-anak. Mereka akan mengalami kekacauan dan kegelisahan melihat orang tuanya tidak mampu mengatasi kesulitan keluarga.

Para istri sangat bangga bila mempunyai suami yang mampu menyelesaikan setiap kesulitan keluarga, memberikan bimbingan dan pengertian bagaimana menempuh kehidupan dengan baik, dan membekali keluarga dengan pengetahuan dan pendidikan agama. Semua ini merupakan tuntutan yang layak dari seorang istri terhadap suami, terutama sekali pada saat keluarga mempunyai anak yang memerlukan pendidikan dan pengasuhan tersendiri dari ayah dan ibunya.Dalam keadaan semacam ini kepemimpinan seseorang suami atau ayah benar-benar dibutuhkan oleh keluarga.

Perempuan juga menginginkan agar kelak suaminya bisa memimpin dan menjadi imam dalam sholat berjama'ah bilamana mereka berada di rumah dan telah tiba waktu sholat. Hal semacam ini akan menambah kebanggaan istri terhadap suami.

Para perempuan muslim yang akan memasuki gerbang rumah tangga wajib memperhatikan kemampuan calon suaminya dalam hal kepemimpinannya, terutama sekali kepemimpinan di bidang akhlaq dan pengetahuan agama. Mereka hendaklah meneliti dengan seksama masalah ini pada calon suaminya agar kelak dapat membangun rumah tangga yang diridhlai Allah.

Untuk mengetahui apakah laki-laki calon suami memiliki kemampuan memimpin atau tidak, dapat dilakukan penelitian dengan cara sebagai berikut :

1.      Mengajukan tes psikologis yang dapat mengukur tingkat kemampuan kepemimpinan yang bersangkutan.
2.      Menyelidiki tingkah laku dan kepribadian yang bersangkutan dalam pergaulan dengan teman-temannya.
3.      Menyelidiki kepribadian yang bersangkutan di tengah keluarganya apakah ia orang yang memiliki kemampuan memimpin atau tidak.
4.      Memperhatikan penyelesaian tugas-tugas yang diembankan kepadanya apakah dapat diselesaikan dengan baik atau tidak.

Para perempuan muslim hendaknya memilih calon suami yang benar-benar memiliki kemampuan memimpin. Tujuannya agar kelak dapat menempuh kehidupan rumah tangga yang sakinah, bahagia sejahtera, dan mendapat keridlaan Allah SWT.

9.      Bertanggung jawab

Allah berfirman dalam Q.S. Al-Qashash ayat 26 : "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: 'Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.'"

Penjelasan :

Tanggung jawab yaitu sikap berani memikul akibat bila sesuatu yang dibebankan kepadanya tidak sesuai dengan ketentuan atau berani diperkarakan bilamana melakukan kesalahan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Seorang suami mempunyai beban dan kewajiban terhadap istrinya. Beban dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan baik, dan akan menerima sanksi bila tidak dilaksanakan dengan baik.

Ayat di atas adalah kisah antara putri Nabi Syu'aib AS dengan Musa AS. Putri Nabi Syu'aib AS mengajukan permintaan kepada ayahandanya agar mengambil orang bertanggung jawab dalam membantu usahanya. Ia mengusulkan hal semacam itu karena mempunyai kepentingan terhadap laki-laki yang akan diambil oleh ayahandanya sebagai pembantu bahwa yang bersangkutan kelak
akan menjadi suaminya. Pandangan putri Nabi Syu'aib AS ini dikisahkan dalam Al-Qur'an untuk menjadi cermin bagi kaum wanita muslim dalam memilih calon suami.

Penuturan yang sangat halus pada ayat ini memberikan gambaran kepada kita adanya fitrah yang tertanam pada wanita yang berpikiran dan bermental sehat bahwa mereka menghendaki suaminya benar-benar memiliki sifat tanggung jawab.

Tanggung jawabini meliputi bidang agama, psikis dan fisik yang diantaranya adalah :

1.      Dalam bidang agama dan psikis yaitu memberikan bimbingan keagamaan dan pengarahan kepada istri dan anak-anaknya dalam menempuh kehidupan keluarga yang diridlai oleh Allah.
2.      Dalam bidang fisik yaitu memenuhi kebutuhan belanja mereka sehari-hari. Tanggung jawab semacam ini merupakan beban yang dipikulkan pada semua suami sejak adanya syari'at berkeluarga sampai hari kemudian kelak. Tanggung jawab ini tidak akan pernah berubah karena sudah merupakan ketentuan Allah yang berlaku secara universal.

Para istri dijadikan oleh Allah mempunyai sifat menggantungkan diri pada suami sehingga tidak merasa dibebani tanggung jawab untuk memikul beban keluarga. Jika seorang istri - karena suatu hal - terpaksa memikul beban keluarga, sudah pasti ia akan mudah menjadi stres atau tertekan.

Keadaan semacam ini dapat kita saksikan di tengah masyarakat yang serba materialis. Kaum wanita dengan terpaksa harus keluar rumah untuk turut mencari nafkah bagi kepentingan keluarganya atau memanuhi kebutuhannya sendiri.

Digalakkannya wanita berjuang mencari nafkah sendiri mengakibatkan perbenturan dengan kaum laki-laki dalam memperebutkan lapangan kerja. Hal ini menambah banyaknya kemelut di tengah masyarakat modern yang akhirnya membuat stres masyarakat. Akibatnya, kaum perempuan terkena dampak buruk dari kondisi stres dan kemelut ini.

Oleh karena itulah, Islam sebagai agama yang sejalan dengan fitrah manusia sejak awal telah menegaskan bahwa tanggung jawab memenuhi kebutuhan materi dan memimpin keluarga menjadi beban kaum laki-laki, bukan beban kaum perempuan. Dengan pola tanggung jawab seperti ini, kita menyaksikan bahwa sejak dahulu Islam selalu memberi tuntunan agar para perempuan memperhatikan seberapa jauh calon suaminya memiliki rasa tanggung jawab.

Cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh calon suami memiliki rasa tanggung jawab antara lain :

1.      Menyelidiki dan mengamati dengan seksama perilaku yang bersangkutan dalam memikul tugas yang dibebankan kepadanya.
2.      Menanyakan kepada teman-teman dekatnya bagaimana dia menjalankan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya, apakah ia lakukan dengan panuh tanggung jawab.

3.      Meneliti kondisi lingkungan dan keluarganya apakah ia termasuk orang yang suka melakukan tugas-tugas dengan penuh tanggung jawab atau tidak.
4.      Menguji yang bersangkutan dengan suatu tugas atau persoalan sehingga dapat diketahui seberapa besar tanggung jawabnya menyelesaikan persoalan tersebut.

Beberapa contoh perbuatan yang dapat digunakan sebagai penguji untuk mengukur rasa tanggung jawab seseorang antara lain :

1.      Bagaimana sikapnya apabila dititipi barang untuk disampaikan kepada orang lain, apakah ia melaksanakannya dengan baik atau tidak.
2.      Bagaimana sikapnya apabila disuruh orang tua untuk berbelanja, apakah uangnya dibelanjakan dengan benar atau tidak.
3.      Bagaimana sikapnya apabila dititipi uang simpanan bersama, apakah dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau tidak.
4.      Bagaimana sikapnya apabila disuruh membagikan uang bantuan kepada fakir miskin, apakah dikurangi atau disampaikan sepenuhnya.

Untuk mencegah agar kaum perempuan tidak terjerat dalam penderitaan dan bencana hendaknya mereka memilih calon suami yang benar-benar bertanggung jawab. Insya Allah, dia akan dapat menciptakan rumah tangga sakinah dan penuh berkah bersama suaminya.

Lanjutan "10 Petunjuk Memilih Istri" Oleh : Drs. M. Thalib


06. Amanah

Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisaa' ayat 34:

"...Oleh sebab itu, wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara (dirinya dan harta suami) ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah (menyuruh) memeliharanya..."

Disebutkan dalam Hadits berikut :

Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik istri yaitu yang meyenangkanmu ketika kamu lihat; taat kepadamu ketika kamu suruh; menjaga dirinya dan hartamu ketika kamu pergi". (H.R. Thabarani, dari 'Abdullah bin Salam)

Penjelasan :

Amanah yaitu tanggung jawab memenuhi kepercayaan orang kepadanya. Apa saja yang dipercayakan orang kepadanya dijaga dan ditunaikan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntutan pemberi kepercayaan.

Ayat tersebut menjelaskan sifat istri yang baik, yaitu benar-benar bisa memelihara kehormatan dirinya pada saat suaminya tidak di rumah. Ia juga menjaga dengan amanah harta benda suaminya selama dia tidak di rumah.

Hadits di atas menjelaskan bahwa setiap istri dituntut untuk amanah terhadap suaminya dalam mengelola harta suami yang dipercayakan kepadanya.

Seorang istri harus memiliki sifat amanah karena ia diberi kepercayaan oleh suaminya mengenai segala macam urusan diri dan keluarganya, bahkan seluruh rahasia suaminya. Suami bukan hanya mempercayakan harta kekayaan kepadanya, melainkan juga mempercayakan kehormatan dan keamanan anak-anaknya. Hal ini menuntut adanya sifat amanah istri sehingga ia tidak akan melakukan
kecurangan ketika suami tidak ada, atau menipu suaminya sehingga menjerumuskannya ke dalam malapetaka. Misalnya, karena kekurangan uang belanja ia menyebarkan hal tersebut kepada orang lain, atau menyampaikan aib suami kepada orang lain sekalipun tidak bermaksud jahat. Hal semacam ini sudah merupakan tindakan khianat istri kepada suami.

Istri yang amanah tentu tidak akan mengabaikan tanggung jawabnya menjaga dan memelihara segala hal yang dipercayakan kepadanya. Ia akan memelihara suasana rumah tangga penuh rasa kasih sayang dan cinta.

Sungguh sangat besar bahaya istri yang tidak amanah bagi keselamatan dan keamanan suami. Istri yang curang dalam menggunakan harta kekayaan suami akan memberatkan suami dalam mencari pemenuhan kebutuhan keluarga. Istri yang tidak dapat menyimpan cacat cela dan rahasia suami akan merusak kehormatan suaminya. Istri yang tidak dapat menjaga anak-anak suaminya dengan baik akan menyusahkan suami dalam membina kehidupan anak-anaknya menjadi orang yang shalih. Istri yang tidak amanah akan menimbulkan ketegangan dan perselisihan karena hal yang diamanahkan kepadanya tidak dijaga dengan baik.

Oleh karena itu, setiap laki-laki yang ingin memperistri seorang perempuan harus benar-benar memperhatikan ada tidaknya sifat amanah pada calon istrinya. Jika ternyata ia seorang perempuan yang kurang baik amanahnya dan kecil harapan untuk diperbaiki, perempuan semacam ini sebaiknya tidak dijadikan istri.

Untuk mengetahui apaah calon istri amanah atau tidak, dapat dilakukan upaya-upaya berikut :

1.      Menanyakan kepada kerabat atau tetangga atau teman dekatnya yang jujur dan berakhlaq baik apakah dia orang yang dapat dipercaya bila diberi kepercayaan mengurus dan menyimpan sesuatu atau tidak.
2.      Menyelidiki perilakunya apakah ia dapat dipercaya dalam melaksanakan kepercayaan orang kepadanya atau tidak. Misalnya dengan mengamati sikapnya bila dititipi uang apakah ia dapat dipercaya atau tidak. Bisa juga dengan mengamati apakah ia selalu memenuhi janji dengan baik atau tidak bila berjanji.
3.      Menyelidiki perilaku keluarganya berkenaan dengan sifat amanah apakah keluarganya dapat dipercaya dalam menjaga harta titipan dan selalu memenuhi janji atau tidak. Dengan bercermin pada keadaan keluarganya besar kemungkinan yang bersangkutan juga menjadi perempuan yang amanah. Sebaliknya, jika keluarganya dikenal sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, kemungkinan anaknya begitu.

Jadi, karena istri yang amanah sangat berperan penting dalam menciptakan kehidupan keluarga yang baik, laki-laki yang ingin membina rumah tangga harus selalu mengutamakan istri yang amanah. Dengan istri yang amanah insya Allah kehidupan keluarga tidak akan banyak beban sehingga tercipta keluarga yang sakinah.


07. Tidak Bersolek Bila Keluar Rumah

Disebutkan dalam Hadits berikut :

"Wanita-wanita yang gemar minta cerai dan wanita-wanita pesolek (di luar rumah) adalah wanita-wanita munafik". (H.R. Abu Nu'aim)

Penjelasan :

Maksud Hadits di atas ialah perempuan yang suka bersolek ketika keluar rumah adalah perempuan munafik. Orang munafik perkataannya tidak bisa dipercaya, janjinya tidak bisa dipegang dan kejujurannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perempuan yang suka bersolek ketika keluar rumah berarti memiliki sifat-sifat buruk.

Sifat perempuan dalam menampilkan dirinya macam-macam. Ada perempuan yang suka bersolek, ia dapat memoles dirinya dengan baik sehingga terlihat cantik dan kekurangannya tertutupi. Tindakannya bertujuan untuk menawan hati orang lain, terutama lawan jenisnya. Perempuan semacam ini disebut munafik karena selalu berpura-pura dalam menampilkan dirinya dan menyembunyikan keadaan sesungguhnya.

Selain itu,ada perempuan yang tampil apa adanya, ia tidak mau mengenakan macam alat kecantikan. Ia selalu menampakkan dirinya dengan polos, tetapi memperlihatkan budi pekerti yang baik dan akhlaq yang terpuji. Ia berpakaian sederhana apa adanya. Perempuan semacam ini lebih mengutamakan kecantikan dan keindahan batin daripada keindahan lahirnya.

Di antara dua sifat perempuan tersebut, perempuan yang tampil apa adanya, polos, dan sederhana itulah yang berakhlaq baik. Perempuan semacam inilah yang seharusnya menjadi pilihan laki-laki beriman untuk dijadikan istri. Ia bisa diharapkan untuk bersama-sama membangun rumah tangga yang penuh kedamaian, keceriaan, kasih sayang dan kebahagiaan.

Istri yang bersolek bila keluar rumah termasuk wanita munafik karena ia berusaha terlihat cantik di mata orang lain, bukan di hadapan suaminya. Ia akan membuat hati suami selalu dibayangi kebimbangan. Suami menjadi selalu khawatir jangan-jangan istrinya tidak dapat menjaga dirinya dari rayuan laki-laki lain atau bercengkerama dengan laki-laki lain ketika dia tidak di rumah. Ia juga bimbang bila memberi uang belanja karena mungkin sekali istrinya menghamburkannya di luar pengetahuan suami. Ia juga sulit mempercayai apa yang dibicarakan istrinya. Kebimbangan semacam ini tentu dapat mengganggu ketentraman dalam rumah tangga, bahkan bisa memicu pertengkaran.

Istri pesolek menimbulkan beban psikologis bagi suami. Kegemarannya bersolek bila keluar rumah bisa mengundang selera laki-laki lain terhadap dirinya. Hal ini tentu akan menimbulkan salah paham dengan suaminya. Suami akan merasa curiga setiap saat sehingga timbul pertengkaran dalam rumah tangga.

Selain beban psikologis, istri pesolek juga akan menimbulkan banyak problem bagi suaminya karena kegemarannya bersolek menyebabkan suami harus mengeluarkan banyak uang. Hal semacam ini tentu akan membebani suami, bila pendapatan suami hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Karena begitu besarnya kendala beristri perempuan pesolek, seorang lelaki hendaklah lebih dahulu meneliti dan mencermati calon istrinya. Jika ternyata dia seorang yang benar-benar gemar bersolek, bahkan biasa bersolek sejak kecil, hendaklah ia mempertimbangkan dengan seksama apakah ha itu akan menimbulkan malapetaka atau tidak bagi dirinya kelak. Jika kegemarannya besolek bukan kebiasaan sejak kecil, melainkan sekedar pengeruh teman dan ada harapan untuk diperbaiki, ia harus tetap mempertimbangkan pemilihannya, sebab boleh jadi pengaruh temannya akan menjadi kebiasaan. Ia harus benar-benar bersikap objektif dalam menilai kemampuannya mengayomi perempuan tersebut. Langkah terbaik adalah mendasarkan pilihannya sesuai dengan tuntunan syari'at Islam supaya kelak tidak menyesal.

Untuk mengetahui apakah calon istri pesolek atau bukan, dengan mudah dapat dilihat dari penampilannya sehari-hari. Bila ia menampilkan diri secara polos dan sederhana walaupun sebenarnya dia berkecukupan, wanita semacam ini termasuk bukan pesolek. Akan tetapi, jika ia tampil dengan polos hanya karena keadaan ekonominya lemah, hal ini perlu dipertimbangkan dan diselidiki lebih jauh. Kita perlu meneliti lebih jauh penampilannya pada saat-saat tertentu, misalya pada saat menghadiri acara pesta perkawinan, wisuda dan lain-lain, apakah tetap tampil apa adanya atau bersolek di luar kebiasaannya.

Ringkasnya, setiap laki-laki hendaklah memperhatikan masalah ini dengan seksama agar kelak tidak menyesal dalam membina rumah tangga dengan perempuan yang didambakannya. Hal ini perlu dilakukan jika ia menghendaki rumah tangga yang dipenuhi dengan keharmonisan, kemesraan dan kebahagiaan. Oleh karena itulah, ia hendaklah berhati-hati agar tidak memilih perempuan yang gemar bersolek bila keluar rumah.***


08. Kufu' dalam Beragama

Rasulullah SAW bersabda dalam Hadits-Hadits berikut :

"Wahai Bani Bayadhah, kawinkanlah (perempuan-perempuan kamu) dengan Abu Hind; dan kawinlah kamu dengan (perempuan-perempuan)nya." (H.R. Abu Dawud)

"Orang-orang Arab satu dengan lainnya adalah kufu'. Bekas budak satu dengan lainnya adalah kufu' pula." (H.R. Bazar)

"Sesungguhnya Allah memuliakan Kinanah di atas Bani Isma'il dan memuliakan Quraisy di atas Kinanah dan memuliakan Bani Hasyim di atas Quraisy dan memuliakan aku di atas Bani Hasyim...Jadi, akulah yang terbaik di atas yang terbaik." (H.R. Muslim)

Penjelasan :

Kata kufu' artinya sepadan atau setara. Dalam pengertian adat-istiadat, kufu' ialah kedudukan setara antara calon suami dengan calon istri, baik dalam urusan agama, keturunan, nasab, maupun kedudukan sosial dan ekonomi. Bila calon pasangan dalam hal-hal tersebut setara, maka mereka disebut kufu'.

Hadits-hadits di atas memberikan penjelasan kufu' dalam pandangan syari'at Islam. Hadits pertama menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan Bani Bayadhah untuk mengawinkan anak-anak perempuannya dengan laki-laki dari keturunan Abu Hind. Klen Abu Hind ini dikenal sebagai pengrajin. Profesi pengrajin di lingkungan Arab dipandang rendah sehingga keturunan mereka dinilai tidak kufu' dengan keturunan Bani Bayadhah.

Hadits kedua menjelaskan bahwa semua suku Arab kufu' sehingga tidak alasan bagi suatu suku tertentu merasa lebih tinggi daripada suku lain.

Hadits ketiga menjelaskan bahwa suku yang paling mulia dilingkungan bangsa Arab adalah Quraisy, sedangkan klen yang paling mulia di lingkungan suku Quraisy adalah Bani Hasyim dan warga Bani Hasyim yang paling mulia adalah Nabi Muhammad SAW.

Hadits ketiga ini tidak menunjukkan adanya pembenaran bahwa suku selain Quraisy tidak kufu' dengan suku Quraisy, atau klen selain Bani Hasyim  tidak kufu' dengan klen Bani Hasyim, sehingga antara laki-laki dan perempuan yang berbeda suku atau klen tidak boleh menikah. Oleh karena itu, tidak ada pembenaran bagi mereka untuk menolak kawin dengan suku atau klen mana saja dengan alasan status sosialnya tidak kufu'.

Bila perkawinan antar klen atau suku yang tidak kufu' dilarang, tentu saja tidak akan ada laki-laki yang dipandang kufu' menjadi suami putri-putri Rasulullah, sebab Rasulullah SAW adalah orang yang paling mulia di lingkungan klen Bani Hasyim. Kenyataannya, putri Rasulullah diperistri oleh laki-laki yang klen atau keluarganya lebih rendah . Ummu Kultsum contohnya, diperistri oleh 'Utsman bin 'Affan yang klennya lebih rendah daripada Bani Hasyim, dan Fathimah diperisteri oleh 'Ali yang keluarganya lebih rendah daripada keluarga Rasulullah SAW. Hal ini membuktikan bahwa anjuran agar mencari pasangan yang kufu' maksudnya bukanlah kufu' dalam pengertian nasab, kedudukan sosial ekonomi, suku atau keluarga, melainkan kufu' dalam beragama.

Mengapa hanya agama yang menjadi tolok ukur kufu' untuk memilih istri? Karena agama merupakan bekal utama yang melandasi kemampuan dan tanggung jawab seorang perempuan untuk menjadi istri yang shalihah.

Kufu' dalam beragama ini ialah kualitas akhlaq dan ketaatan beragama calon pasangan benar-benar setara. Apabila suami lebih baik, sedang istri kurang, keduanya dikatakan kurang kufu'. Sebaliknya, jika istri lebih baik, ia dikatakan tidak kufu' sebab suami dituntut memiliki kualitas lebih baik atau setidak-tidaknya setara.

Islam menganjurkan memilih istri yang kufu' dalam beragama agar kelak tercipta suasana sakinah dan mawaddah dalam hidup berumah tangga. Bila antara suami istri terdapat perbedaan-perbedaan mencolok dalam bidang akhlaq dan ibadah, apalagi istri jauh lebih rendah daripada suami, hal ini semacam ini akan menghambat upaya menciptakan rumah tangga yang dipenuhi kemesraan, kebahagiaan, dan penuh tanggung jawab kepada Allah. Demikianlah, karena istri yang tidak kufu' memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai baik buruk suatu masalah sehingga dalam rumah tangga muncul dua norma yang bisa berbeda. Hal ini sangat berbahaya bagi pembinaan akhlaq suami istri dan anak-anaknya. Bukanlah tujuan setiap orang membina rumah tangga adalah untuk memperoleh kebahagiaan sebesar-besarnya di dunia dan keselamatan di akhirat kelak? Kalau tujuan semacam ini tidak dapat diwujudkan, yang akan terjadi adalah perselisihan yang menyebabkan perderitaan.

Untuk mengukur kufu' atau tidaknya calon istri, perlu diadakan pengamatan dan penelitian seksama. Ada beberapa cara yangbisa ditempuh, antara lain :

1.      Menanyakan akhlaq dan ibadah perempuan tersebut kepada teman-teman dekatnya atau tetangga dekatnya yang adil dan jujur dalam menilai orang.
2.      Mengamati akhlaq dan ibadah keluarga perempuan yang bersangkutan. Bila keluarganya ahli ibadah dan baik akhlaqnya, kemungkinan besar akhlaq perempuan tersebut seperti keluarganya.

Adapun kufu' dalam bidang lain, seperti tingkat pendidikan, sosial, ekonomi dan lain-lain bukan merupkan masalah pokok yang dapat menghalangi upaya penciptaan rumah tangga yang sakinah dan mawaddah. Masalah-masalah semacam itu dapat diatasi dengan cara melakukan peningkatan secara bertahap dari pihak yang bersangkutan.

Istri yang pendidikannya jauh lebih rendah daripada suami, misalnya. Tetapi memiliki kecerdasan yang cukup untuk menambah ilmunya, baik secara otodidak maupun melalui kursus-kursus, dapat mengimbangi kedudukan suami. Begitu pula istri yang berasal dari kalangan ekonomi rendah tetapi memiliki pendidikan yang cukup, kedudukannya otomatis akan terangkat sehingga kedudukannya setara dengan suaminya. Begitu juga dalam hal kedudukan sosial dan lainnya, istri dapat mencapai kesetaraan selama suami mau menerima dan mengusahakan peningkatan kualitas dirinya.

Akan tetapi, berbeda sekai bila calon istri akhlaqnya rendah dan perilakunya dalam beragama rusak. Perbaikan dan peningkatan dalam hal ini sangat berat sebab untuk mengubah akhlaq yang buruk menjadi baik bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan, bahkan dapat mempengaruhi yang baik menjadi rusak. Itulah sebabnya Rasulullah SAW, juga para ulama mengingatkan agar laki-laki yang hendak menikah benar-benar memperhatikan masalah kualitas agama calon istrinya.

Jadi, walaupun masalah kufu' di luar aspek agama tidak menjadi tuntutan pokok, patut juga kita perhatikan hal tersebut dengan baik agar kita lebih mudah menciptakan keluarga yang bahagia, penuh ketenangan dan sejahtera. Kita sebaiknya berusaha untuk mendapatkan pasangan yang kufu' dalam seluruh aspek mencakup akhlaq, ibadah, pendidikan, kedudukan sosial, ekonomi, dan latar belakang kultur. Semakin banyak persamaan antara calon pasangan, akan semakin mudah kita membina kesatuan dalam keluarga. Inilah yang harus kita usahakan agar tujuan kita mewujudkan rumah tangga yang penuh keberkahan, kebahagiaan dan ketenangan tercapai.***


09. Tidak Materialis

Dalam Hadits berikut disebutkan :

Dari Ibnu 'Abbas ra, ujarnya: Rasulullah SAW bersabda: "Ada empat perkara, siapa mendapatkannya berarti kebaikan dunia dan akhirat, yaitu hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, bersabar ketika mendapatkan musibah, dan perempuan yang mau dikawini bukan bermaksud menjerumuskan (suaminya) ke dalam perbuatan maksiat dan bukan menginginkan hartanya." (H.R. Thabarani, Hadits Hasan)

Disebutkan juga dalam Hadits berikut bahwa :

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya wanita yang membawa berkah yaitu bilamana ia mudah dilamar, murah maskawinnya, dan subur peranakannya." (H.R. Ibnu Hibban, Hakim, dan lain-lain, dari 'Aisyah).

Penjelasan :

Materialis adalah sifat lebih mengutamakan materi dan cenderung tidak mau mengeluarkan hartanya untuk kepentingan orang lain atau kepentingan kebajikan umum.

Wanita materialis mengukur derajat dan martabat seorang laki-laki semata-mata dari sisi harta kekayaannya. Ia mau menjadi istri seseorang asalkan yang bersangkutan mampu memenuhi tuntutan-tuntutan materinya. Ia selalu medambakan kemewahan dan bertumpuknya harta kekayaan tanpa mempedulikan halal dan haramnya.

Maksud Hadits pertama ialah perempuan yang baik dijadikan istri antara lain karena tidak bermaksud mengejar harta dan tidak pula menjerumuskan suaminya untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Misalnya mendorong suaminya untuk mencari harta sebanyak-banyaknya walaupun dengan cara haram atau hanya mengeruk harta kekayaan suami dan meninggalkannya bila suami jatuh miskin.

Hadits kedua menerangkan bahwa salah satu ciri wanita yang tidak materialis. Perempuan semacam ini kelak akan membawa berkah bagi keluarganya karena mau menerima keadaan suami sehingga tidak menyulitkan suaminya dalam memenuhi kebutuhan keluarga kelak. Sikap semacam inilah yang dapat menciptakan suasana keluarga penuh dengan rasa riang dan bahagia.

Dalam memilih calon istri kita diperintahkan agar mencari wanita yang ridha menerima mahar sedikit, walaupun laki-laki dianjurkan untuk memberikan mahar yang banyak kepada calon istrinya seperti yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa' ayat 4 : "Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) dengan maskawin yang menyenangkan ..."

Untuk mengetahui apakah calon istri materialis atau tidak, dapat dilakukan cara-cara antara lain :

1.      Menanyakan kepada teman-teman dekatnya atau tetangga dekatnya tentang sikap-sikapnya dalam bidang materi. Misalnya, kita teliti apakah dia senang berteman dengan orang-orang kaya saja atau juga dengan orang-orang miskin. Kita amati sikapnya apakah mau meminjamkan sesuatu kepada orang yang miskin atau hanya mau meminjamkan sesuatu kepada yang kaya. Kita amati juga apakah dalam menilai keadaan seseorang ia hanya melihat sisi materinya atau ia lebih memperhatikan sisi akhlaq dan kepandaiannya.

2.      Mengamati pola kehidupan keluarganya apakah mereka hanya bergaul dengan orang-orang kaya atau dengan semua kalangan.

3.      Mengujinya dengan memberikan hadiah yang murah apakah apakah ia memberi komentar menyepelekan atau tidak.

Dengan cara-cara ini diharapkan laki-laki yang akan mempersunting seorang perempuan dapat mengetahui dengan jelas apakah sifatnya materialis atau qana'ah (menerima apa adanya) dan menjauhi kemewahan.

Laki-laki yang bertujuan mewujudkan keluarga islami dalam rumah tangganya, hendaklah benar-benar memilih calon istri yang tidak materialis. Hal ini dimaksudkan agar keluarganya dapat hidup berbahagia, sejahtera, penih ketentraman, kasih sayang sesuai dengan peraturan Islam.***


10. Senang Menyambung Ikatan Kerabat

Dalam Hadits berikut disebutkan :

Dari Maimunah ra, sesungguhnya ia telah memerdekakan salah seorang budak perempuannya tanpa lebih dahulu minta izin kepada Nabi SAW. Ketika tiba saat Nabi bergilir kepadanya, ia berkata: "Wahai Rasulullah, apakah Tuan tahu bahwa saya telah memerdekakan budak perempuanku?" Sabdanya: "Apakah engkau telah melakukannya?" Jawabnya: "Ya" Sabdanya: "Alangkah baiknya kalau budak perempuan itu engkau hadiahkan kepada paman-paman dari pihak ibumu karena pahalanya akan lebih besar bagi dirimu." (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i)

Penjelasan :

Perempuan yang baik untuk dijadikan istri adalah perempuan yang suka menjalin ikatan silahturahmi dengan keluarga dan kerabat.

Hadits di atas menceritakan bahwa ketika Maimunah memberitahu Rasulullah SAW, bahwa dirinya telah memerdekakan budak miliknya, beliau bersabda : "Alangkah baiknya kalau budak perempuan itu engkau hadiahkan kepada paman-paman dari pihak ibumu." Ini berarti bahwa Rasulullah SAW lebih menekankan perlunya mempererat ikatan kekerabatan daripada sekedar membebaskan budak.

Peranan seorang istri sangat besar dalam mempererat hubungan suaminya dengan keluarga dan kerabatnya. Bila seorang istri suka menjaga dan memelihara hubungan dengan kerabat-kerabatnya, baik dari pihaknya sendiri maupun dari puhak suaminya, jaringan hubungan kekeluargaan akan menjadi luas, sehingga memudahkan mereka untuk saling menerima dan memberi bantuan.

Kebanyakan orang, terutama para istri, tidak suka bila dia harus membantu atau menanggung beban hidup orang lain. Mereka lebih mengutamakan kesejahteraan keluarganya daripada membantu kerabat atau keluarga besarnya. Umumnya, perempuan lebih mengutamakan diri dan anak-anaknya dan cenderung kurang peduli dengan keluarga besarnya. Mereka khawatir kalau terlalu banyak membantu keluarga besar, kepentingannya tidak terpenuhi. Hal inilah yang sering merintangi para istri untuk bersikap lebih dermawan kepada keluarga besarnya, apalagi kepada keluarga besar suaminya.

Kita tak boleh merasa tidak memerlukan uluran tangan keluarga atau kerabat kita, karena sikap semacam ini hanya merugikan diri sendiri. Walaupun keluarga kita berkecukupan, kita harus ingat bahwa kekayaan tidak bisa dinikmati selamanya. Peristiwa-peristiwa mendadak yangbisa menghancurkan kekayaan dan kesejahteraan, tidak dapat kita duga datangnya. Hal semacam ini kemungkinan besar tidak dapat kita atasi sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain. Oleh karena itu siapakah yang kita harapkan dapat memberikan bantuan jika bukan dari keluarga besar kita sendiri.

Sebuah keluarga kaya misalnya, mereka merasa tidak memerlukan bantian lagi dari keluarga besarnya, lalu bersikap acuh dan merendahkan. Suatu ketika keluarga ini mengalami malapetaka, misalnya rumahnya terbakar habis sehingga tidak tersisa harta sedikitpun. Pada saat semacam ini, siapakah yang diharapkan untuk segera memberikan bantuan kepada dirinya jika hubungannya dengan keluarga besarnya tidak baik? Dia akan menderita dan putus asa karena tidak ada orang yang bisa diharapkan pertolongannya. Ia tidak bisa berharap kepada keluarga besarnya karena selama ini tidak mau peduli kepada mereka.

Untuk mengetahui seberapa jauh minat dan hasrat calon ustri terhadap upaya pemeliharaan ikatan silahturahmi dengan keluarga, kita dapat menempuh cara-cara antara lain :

1.      Menanyakan kepada kerabat dekatnya apakah yang bersangkutan kenal, akrab dan sering berkunjung atau tidak.
2.      Menanyakan kepada teman-teman perempuannya atau tetangga sekitarnya apakah dia berhubungan baik dengan mereka atau tidak.

Karena pentingnya keluarga besar dan kerabat bagi setiap keluarga, kita wajib memperhatikan calon istri kita seberapa jauh ia mempedulikan kerabat dan keluarga besarnya. Bila yang bersangkutan adalah orang yang selalu memelihara dan menyuburkan ikatan silahturahmi dengan keluarga dan kerabatnya, perempuan semacam ini baik dijadikan istri dan akan membawa berkah dalam membangun rumah tangga kelak. Sebaliknya, jika dia tidak peduli dengan ikatan kekeluargaan, kemungkinan besar perempuan semacam ini tidak akan memberikan berkah dalam keluarga suaminya. Oleh karena itu, carilah istri yang suka memelihara ikatan silaturahmi.***

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh