1
MODUL MATA KULIAH
ULUMUL HADITS
wakaf di jalan Allah / tidak untuk diperjualbelikan
semoga bermanfaat bagi dakwah dan umat
2
DAFTAR ISI
MATA KULIAH : ULUMUL HADITS
1. Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam………………………….. hal
2. Sejarah dan Perkembangan ilmu Hadits hal
3. Pengantar Mustholah Hadits hal
4. Hadits Shohih dan Permasalahannya hal
5. Hadits Hasan dan Permasalahannya ………………………………………………. Hal
6. Hadits Dhoif (1) …………………………………………. Hal
7. Hadits Dhoif (2) ……………………………………….. hal
8. Nasikh wal Mansukh …………………………………………………………….. hal
9. Rambu-rambu mengenal Sunnah ………………………………………….. hal
3
MATERI 1 :
SUNNAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAT ISLAM
A. PENGERTIAN AS-SUNNAH :
As-Sunnah secara etimologis berarti : ath-thoriiqoh wa siroh jalan dan perjalanan ,
sama saja apakah terpuji atau tercela. Dan bentuk jamak / pluralnya adalah : sunan
Pengertian as-sunnah dari dengan makan tersebut ini bisa kita lihat dalam beberapa
ayat dan hadits, diantaranya :
“ Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum
(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS
Al Ahzab 22)
Sementara secara istilah, As-Sunnah diartikan secara berbeda sesuai dengan
penekanan bidang ilmu masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) As-Sunnah menurut terminologi ahli fikh : Apa-apa yang jelas/tegas dilakukan
Nabi SAW tapi tidak bersifat wajib. Dan sunnah termasuk dalam lima jenis
hukum pembebanan, masing-masing : Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan
Mubah, pada kesempatan lainnya terkadang sunnah juga dianggap sebagai
lawan kata dari bid’ah.
b) As-Sunnah menurut ulama Ushulliyin : Apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW
selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan ( taqrir)
c) As-Sunnah menurut ulama hadits : Apa-apa yang didapatkan/ditemukan dari
Nabi SAW berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan, atau sifatnya atau
kisah hidupnya.
B. LEGALITAS AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Para ulama muslimin telah bersepakat bahwa apa-apa yang bersumber dari
Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, yang berkaitan
dengan masalah hukum, kepemimpinan dan peradilan,-yang diriwayatkan dengan
sanad shohih- adalah menjadi dasar hukum bagi kaum muslimin, sebagai rujukan
dalam pengambilan hukum oleh para mujtahid.
4
Maka As-Sunnah adalah pokok yang kedua dari sumber-sumber dalil syariat Islam.
Kedudukannya setelah Al-Quran. Legalitas As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
dikuatkan dengan dalil-dalil diantaranya sebagai berikut :
Pertama : Dari Al-Qur’anul Karim :
1) Allah SWT telah menegaskan perintah untuk mengikuti dan mentaati Rasulullah
SAW. Firman Allah SWT :
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah “ ( QS Al Hasyr7 ).
Firmannya yang lain : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya),2)
Allah SWT juga menegaskan larangan untuk ragu-ragu atas hukum yang
dikeluarkan Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT : “ Dan tidaklah patut bagi lakilaki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka “ ( QS al-Ahzab 36 )
Kedua : Perbuatan Shahabat
Para sahabat baik ketika Rasulullah SAW masih hidup ataupun setelah beliau wafat,
tetap menjadikan As-Sunnah sebagai dasar pengambilan hukum. Dan mereka tidak
membedakan hukum yang berasal dari Al-Quran maupun dari Rasulullah SAW. Hal
ini berdasarkan pemahaman mereka yang baik atas ayat : “ dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS an-Najm 3-4)
Ketiga : Dalil Aqly (Logika)
Tidak mungkin menjalankan kewajiban Agama hanya dengan berdasarkan pada
perintah Al-Quran yang sebagian besar bersifat general. Contoh perintah dalam Al-
Quran yang bersifat general,firman Allah SWT : “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat ( QS al Baqoroh 43)” , tentang masalah puasa : “ Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS AlBaqoroh 183). Begitu pula tentang
perintah haji : “ mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah( QS Ali Imron 97)
5
Perintah diatas baik sholat, zakat, puasa maupun haji sangat bersifat general, dan
tidak dapat dikerjakan kecuali dengan perincian teknisnya yang ada pada Sunnah.
Maka dalam As-Sunnah kita dapat mengetahui misalnya : waktu-waktu sholat,
jumlah rekaatnya, dan cara pelaksanaannya. Begitu pula dengan zakat, kadar
wajibnya, waktu pengeluarannya, dan harta-harta yang wajib dizakati. Begitu pula
pada shaum dan haji.
C. TINGKATAN AS-SUNNAH DIANTARA DALIL-DALIL SYAR’I LAINNYA.
Tingkatan As-Sunnah di dalam urutan dalil syar’I ada pada urutan kedua setelah Al-
Quran, hal ini dilandaskan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Bahwa Al-Quran adalah dalil yang bersifat qath’iy (kuat/final) karena
periwayatannya bersifat mutawatir.(diriwayatkan oleh banyak rawi dalam
setiap tingkatan) , sedangkan As-Sunnah sebagian besar adalah dalil dzhan
yang diriwayatkan secara ahad, tidak sampai derajat mutawatir.
2) Karena As-Sunnah adalah berfungsi sebagai bayan atau penjelas dari hukum
Al-Quran, maka As-Sunnah baru dianggap / dipakai setelah tidak ada sebuah
hukum yang jelas dalam Al-Qur’an tentang sebuah masalah.
3) Apa yang ditunjukkan dalam akhbar dan atsar, diantaranya hadits Muadz
saat diutus Rasulullah SAW ke Yaman : Ketika itu Rasulullah SAW bertanya
padanya : “ Dengan apa engkau berhukum ? “ , maka dijawab : “ dengan
Kitabullah “ , kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau
dapatkan ( dalam Kitabullah )”, maka dijawab : “ Dengan sunnah Rasulullah
SAW “, kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan (
dalam Sunnah ) ?”. Maka Muadz menjawab : “ aku akan berijtihad dengan
pikiranku “
D. HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QURAN
Pertama : As-Sunah sebagai penetap dan penguat hukum yang telah ada di dalam
Al-Quran. Maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan dua dalil; dalil
Al-Quran dan dalil penguat, As-Sunah. Hukum-hukum tersebut seperti perintah
untuk melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah,
berbuat baik terhadap perempuan, larangan menyekutukan Allah (syirik), bersaksi
palsu, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar, dan
6
perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh As-
Sunah. Yang keduanya digunakan sebagai dalil.
Kedua : As-Sunah sebagai perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal)
dari Al-Quran, sebagai pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham),
sebagai pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, dan memberi
pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran.
Ketiga : As-Sunah sebagi dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hukum.
Di dalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa ada di
dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah, bukan Al-
Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah, menolong orang
yang dianiaya, dan lain-lain. Di dalam bentuk larangan seperti hukum dilarangnya
bagi suami untuk berpoligami dengan mengumpulkan perempuan bersama bibi
perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu), hukum haramnya bersetubuh di
siang hari bulan Ramadhan, hukum haramnya memakan daging binatang buas yang
bertaring, dan lain-lain.
E. SEPUTAR INGKAR SUNNAH
Ada sebagian orang sejak jaman dulu hingga saat ini yang mencukupkan diri dengan
Al-Quran sebagai sumber hukum dan tidak menganggap as-sunnah sebagai sumber
hukum. Mereka berhujjah dengan ayat Al-Quran, diantaranya adalah firman Allah
SWT : “ “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu”
(QS Al Maidah ayat 3) dan juga firman-Nya : ““Kami turunkan kepadamu Alquran
untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS An-Nahl 89).
Mereka juga mengatakan bahwa apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW,
hanyalah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kaum muslimin, yang berijtihad
saja sesuai maslahah dan kondisi pada waktu tersebut, jadi tidak bisa menjadi
landasan hukum tersendiri.
Sesungguhnya fenomena ini sudah ada sejak jaman dahulu dan telah diprediksikan
oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda : "Sebentar lagi akan ada orang yang duduk
7
didipannya,kemudian dia berkatayang artinya :"Kalian harus berpegang dengan Al
Qur'an saja, perkara yang dihalalkan didalamnya kita halalkan dan yang diharamkan
kita haramkan", ketahuilah apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama dengan yang
diharamkan oleh Allah "(HR Abu Daud ).
Tuduhan dari paham ingkarus sunnah dan hujjah-hujjahnya sangat lemah dan bisa
dibantah dengan mudah. Salah satunya adalah dalam Al-Quran banyak dalil dan
perintah untuk mengikuti dan mengambil Rasulullah SAW sebagai rujukan. Artinya,
mereka yang tidak mau mentaati Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah
menentang perintah Al-Quran itu sendiri. Bantahan selanjutnya, secara logika
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tidak mungkin ajaran syariat
Islam bisa diimplementasikan dengan sempurna, kecuali setelah mengetahui
penjelasan teknisnya dari As-Sunnah. Wallahu a’lam.
8
MATERI 2 :
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS
A. PERHATIAN ULAMA ISLAM TERHADAP HADITS NABI
Umat Islam –khususnya para ulama- sejak dulu sangat mempunyai perhatian khusus
terhadap hadits-hadits nabi, baik secara periwayatan, hafalan maupun
pengkajiannya, sehingga hadits menjadi tetap terjaga sebagai sumber kedua dalam
sumber perundangan dan hukum Islam setelah Al-Quran. Setidaknya ada dorongan
yang membuat mereka melakukan hal tersebut.
Pertama : Motivasi Menjalankan Agama ( al-Baits ad-diiny)
Sudah sangat jelas bahwa hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Dimana
banyak sekali permasalahan-permasalahan kehidupan, baik ibadah maupun
muamalah yang membutuhkan hadits untuk menjawabnya, ketika tidak terdapat di
dalam Al-Quran. Karenanya, eksistensi kehidupan beragama kaum muslim tidak bisa
di pisahkan dengan keterjagaan dan kemurnian hadits-hadits nabi. Maka tidak heran
jika kemudian para ulama bersemangat dalam mengembangkan ilmu hadits.
Kedua : Motivasi Sejarah ( al-baaits at-tarikhy)
Umat Islam sebagaimana umat yang lainnya juga menghadapi gangguan dan
tantangan budaya /pemikiran dari pihak luar. Sehingga diperlukan penjagaan
kemurnian kekayaan pemikiran dan budayanya agar tidak hilang, punah atau
ternodai dengan budaya lainnya.Hadits nabi sebagai salah satu warisan kekayaan
pemikiran umat Islam harus senantiasa di jaga kemurniannya, maka kemudian
lahirlah kaidah-kaidah yang selanjutnya disebut ulumul hadits. Bukan rahasia pula,
bahwa salah satu sebab munculnya kaidah-kaidah tersebut juga karena sudah mulai
timbul banyak pemalsu hadits (wadhi' al hadits), yang sebagian besar membawa
unsur budaya luar.
B. PERHATIAN SHAHABAT DALAM MENJAGA HADITS
Para shahabat ra sebenarnya juga telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga
kemurnian hadits-hadits nabi saw, upaya ini kemudian yang menjadi tonggal awal
9
lahirnya ulumul hadits. Diantara usaha-usaha yang dilakukan para sahabat dalam
masalah ini antara lain :
Pertama : Meminimalisir periwayatan hadits dari Rasul SAW ( taqlil ar-riwayah 'an
rasulillah ) :
Para sahabat ra dahulu khawatir dengan banyaknya periwayatan hadits akan
menyebabkan mereka terjatuh dalam kesalahan atau kealpaan dalam sebuah hadits,
sehingga kesalahan tersebut dapat menyebabkan 'pendustaan / kebohongan' atas
nama Rasulullah SAW yang diancam sangat keras oleh Islam. Rasulullah SAW
bersabda : " Barang siapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka
tunggulah tempatnya di neraka " (HR Ahmad, Tirmidzi dan yang lainnya)
Selain sebab di atas, para sahabat juga khawatir dengan banyaknya periwayatan
hadits akan menyibukkan mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari Al-Quran.
Contoh bentuk riil yang dilakukan sahabat : Umar bin Khatab ra mengingkari siapa
saja yang meriwayatkan hadits terlalu banyak. Abu Hurairah ra , seorang sahabat
yang paling banyal meriwayatkan hadits , suatu ketika ditanya seseorang : " Apakah
engkau membacakan hadits pada jaman Umar persis seperti sekarang ini ? ". Maka
Abu Hurairah ra segera menjawab : " Seandainya aku membacakan hadits pada
jaman Umar seperti aku membacakan hadits kepada kalian saat ini (yaitu banyak
hadits), sungguh ia (Umar) pasti akan memukulku dengan tongkatnya ".
Contoh lain bentuk kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana
yang dilakukan oleh Anas bin Malik ra. Beliau setiap kali usai menyampaikan hadits
dari Rasulullah SAW, beliau segera mengatakan : “ au kama qoola ar-rasuul “ Atau
sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW. "
Kedua : Memastikan Kejelasan sebuah Riwayat ( at-tastsabbut fi ar-riwayah)
Para sahabat juga berhati-hati dalam menerima sebuah riwayat hadits yang belum
pernah di dengarnya. Sebagian mensyaratkan adanya kesaksian, sebagian lain
mensyaratkan untuk bersumpah.
Adalah Abu Bakar ra yang dikenal pertama kali berhati-hati dalam menerima sebuah
khobar. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab bahwa suatu ketika ada seorang nenek tua
yang mendatangi Abu Bakar dan meminta kejelasan tentang haknya dalam harta
waris. Abu Bakar kemudian menjawab : " Aku tidak mendapatkan bagianmu (hak
10
waris) di Kitabullah, begitu pula aku tidak tahu jika Rasulullah SAW pernah
menyebutkan soal itu ". Setelah itu Abu Bakar ra bertanya kepada sahabat lainnya,
maka berdirilah Mughiroh dan mengatakan : " Aku mendengar Rasulullah SAW
memberikan bagian baginya (nenek) seperenam ".Kemudian Abu Bakar bertanya : "
Apakah ada yang lain bersamamu (mendengarkannya) ? ". Maka kemudian
Muhammad bin Maslamah ikut bersaksi, dan Abu Bakar pun menerima dan
menjalankan aturan tersebut.
Ketiga : Mengembangkan Kritik muatan yang diriwayatkan ( naqdu al-marwiyat)
Caranya adalah dengan membandingkan apa yang diriwayatakan dengan apa yang
terkandung dalam Al-Quran. Seandainya bertentangan maka mereka
meninggalkannya. Salah satu contohnya adalah : Umar bin Khatab mengeluarkan
fatwa bahwa bagi seorang wanita yang ditalak ba'in tetap mendapat hak nafkah dan
tempat tinggal. Maka kemudian datang Fatimah binti Qais yang meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengatakan kepadanya dalam masalah ini,
yaitu tidak ada lagi hak nafkah dan tidak juga tempat tinggal. Mendengar hal
tersebut Umar mengatakan : " Kita tidak akan meninggalkan Kitabullah karena
perkataan seorang perempuan, mungkin saja ia hafal atau mungkin juga telah lupa ".
Yang dimaksud Umar tentu adalah ayat-ayat sebagai berikut : "serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang" (QS at Tholaq 1), dan juga firman Allah SWY : “Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS at-
Tholaq: 6)
Memang masalah ini dalam pembahasan fiqh memang terdapat perbedaan di
antara ulama. Kisah tersebut ditampilkan sebagai salah satu contoh upaya kritik
muatan riwayat yang dilakukan pada masa sahabat.
C. PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perbedaan antara Ali bin Abi Tholib dan
Muawiyah bin Abu Sufyan, berkembanglah paham fanatisme pada masing-masing
pihak. Mereka membela pemimpinnya dengan banyak cara. Ada yang mentakwilkan
11
ayat Al-Quran, memaksakan penafsiran menurut keinginannya, dan ada pula yang
melakukan hal yang sama terhadap as-Sunnah. Tidak berhenti begitu saja, mereka
mulai memalsukan hadits untuk kepentingan fanatismenya atau membela
golongannya.
Contohnya, di pihak Ali beredar sebuah hadits palsu : " Barang siapa yang ingin
melihat ilmunya Adam, ketakwaan Nuh, kelembutan Ibrohim, kekuatan Musa,dan
ibadahnya Isa, maka lihatlah pada Ali ". Begitu pula di pihak Muawiyah, diriwayatkan
sebuah hadits palsu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : " Orang yang
terpercaya (al-umana') itu ada tiga : Aku (Rasulullah), Jibril dan Muawiyah ! ".
Maka kemudian berkembanglah pemalsuan hadits hingga para ulama mulai
berusaha mencegahnya. Setidaknya mulai dari akhir masa sahabat dan awal-awal
masa tabi'in, mereka mulai memperhatikan dan mengkaji tentang isnad hadits, dan
keadaan para perawinya.
Muhammad bin Sirin berkata : Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang
isnad (perawi-sandaran hadits), kemudian setelah terjadi fitnah ( antara Ali dan
Muawiyah-red) maka mereka mulai mengatakan ketika mendengar hadits : "
Sebutkan pada kami siapa saja sumber riwayatmu ", ketika dilihat para perawi dari
ahli sunnah maka hadits tersebut diambil. Sebaliknya, jika para perawi berasalah
dari ahli bid'ah, maka haditsnya di tolak.
D. PENULISAN HADITS
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan
penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada
keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat
duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
12
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang
mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H)
yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah” . Demikian pula dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih
belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai
akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama
Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di
daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau
menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis haditshadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits
ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang
ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah
wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. Menurut pendapat yang populer di
kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta
membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di
kota-kota besar yang lain.Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan
disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah
dan lain sebagainya.
E. PEMBAGIAN UMUM ILMU HADITS
Dimulailah kemudian masa perkembangan ilmu hadits dengan berbagai macam
bidang pembahasannya, seperti ilmu tarikh ar-ruwwah ( sejarah para perawi) , ilmu
jarh wa ta'dil, ilmu gharib al hadits, ilmu mukhtalaf al-hadits, ilmu takhriij, serta tidak
13
lupa ilmu mustholahul hadits. Namun secara umum, ilmu hadits dari bidang
pembahasaanya bisa dibagi menjadi dua bagian besar :
Pertama : Ilmu hadits riwayah
Adalah ilmu yang membahas proses pemindahan/pencatatan apa-apa yang
disandarkan pada Rasulullah SAW, baik yang berupa ucapan, perbuatan, ketetapan
atau sifat akhlak dan sifat lahiriah beliau. Sehingga fokus pembahasan adalah haditshadits
Rasulullah SAW itu sendiri dan proses perpindahannya. Manfaat ilmu ini
adalah : menjaga sunnah dan memastikannya terbebas dari kesalahan dalam proses
perpindahannya.
Kedua : Ilmu Hadits Diroyah
Yaitu kumpulan kaidah-kaidah dan permasalahan yang dengannya bisa diketahui
kondisi/keadaan para perawi (rowi) dan yang diriwayatkannya (marwa), dari segi
apakah bisa diterima atau tidak. Yang dimaksud dengan keadaan perawi adalah :
Mengetahui kondisinya secara objektif baik ataupun kurang baik, dan apa-apa yang
berhubungan dengan proses bagaimana dia meriwayatkan hadits. Fokus
pembahasan ilmu ini pada sanad dan matan hadits, serta kondisi yang melingkupi
keduanya. Manfaat utama dari pembahasan ilmu ini adalah mengetahui sebuah
hadits bisa diterima atau ditolak.
Pada perkembangan selanjutnya, Ilmu Hadits Diroyah juga biasa disebut dengan
Ilmu Hadits saja, atau juga dengan sebutan Ilmu Mustholahul Hadits.
14
MATERI 3 :
PENGANTAR ILMU MUSTHOLAHUL HADITS
A. PENGERTIAN AL-HADITS
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup
sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari
makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah,
yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik
setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz
hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir
beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli
ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits,
seperti urusan pakaian.
Contoh Jenis dan ragam Hadits :
1. Hadits yang berupa perkataan ( qaul ), Contoh : Rasulullah SAW bersabda : “
sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya” (HR Bukhori Muslim)
2. Hadits yang berupa perbuatan ( fi’il) : biasanya berupa penggambaran
sahabat tentang perbuatan Rasulullah, seperti : wudhu Rasulullah, shalat
beliau, cara haji, dll.
3. Ketetapan ( taqrir ), yaitu diam atau persetujuan Rasulullah SAW saat melihat
atau mendengar sesuatu dikerjakan oleh para sahabat. diantaranya hadits
yang diriwayatkan dari Abu Said AlKhudry, ia berkata : Dua orang keluar
bepergian, kemudian datang waktu sholat dan tidak ada air pada mereka,
maka kemudian mereka bertayammum dengan tanah dan sholat. Kemudian
15
(setelah berjalan lagi) mereka menemukan air dan masih dalam waktu
sholat. Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya,
sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW
dan menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang
tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau mendapatkan sunnah, dan
sholatmu sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “
bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud & an-Nasa’i)
4. Sifat atau Siroh, berupa penggambaran sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara
fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari Jabir bin Abdullah ia berkata :
Rasulullah SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia
senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi )
B. PERBEDAAN HADITS DENGAN AL-KHOBAR, AL-ATSAR
Pertama : Al-Khobar
Al-Khobar secara bahasa berarti : an-naba’ atau berita. Secara istilah terdapat tiga
pendapat, masing-masing ; ada yang menyatakan khobar sama persis dengan hadits
; ada yang membedakan dengan menyebutkan bahwa hadits khusus berasal dari
Rasulullah SAW, sedangkan khobar yang berasal dari shahabat dan tabi’in ; ada pula
yang menyatakan bahwa khobar lebih umum dari hadits, yaitu bisa berasal dari
Rasulullah dan selain Rasulullah SAW.
Kedua : Al-Atsar
Al-Atsar secara bahasa berarti : baqiyyatu asy-syai’ atau sisa/bekas dari sesuatu.
Sedangkan secara istilah ada dua pendapat, masing-masing ; ada yang menyatakan
artinya sama persis dengan hadits ; ada pula yang menyatakan bahwa atsar adalah
apa yang disandarkan dari sahabat dan tabi’in baik berupa ucapan maupun
perbuatan.
C. HADITS QUDSY DAN PERBEDAANNYA DENGAN AL-QURAN & HADITS NABI
Pengertian & Bentuk Hadits Qudsy :
Makna Qudsy secara bahasa adalah bersandar pada Al-Quds atau At-Tuhr ( suci ),
sandaran ini menunjukkan pada ta’dzhim atau pengagungan, atau bersandar pada
16
Dzat Allah SWT al-Muqoddasah ( yang suci ) . Hadits Qudsy secara istilah : Apa-apa
yang disandarkan Nabi SAW pada Allah SWT
Format periwayatan Hadits Qudsy terbagi dalam dua bentuk :
Pertama : Rasulullah SAW bersabda , dari apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya Azza
wa jalla . Contoh :
Dari Abu Dzar ra, dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Allah tabaaroka wa ta’ala,
Dia berkata : “ Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku
menjadikannya haram diantara kamu, maka janganlah saling menzhalimi … “ ( HR
Muslim )
Kedua : Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : Contoh :
Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : “
Aku berada dalam dugaan (dzhan) hamba-Ku pada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia
menyebut-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, maka Aku akan Menyebutnya
dalam diri-Ku, dan jika ia menyebut-Ku dalam kumpulan (berjamaah), maka Aku
akan Menyebutnya dengan kumpulan yang lebih baik dari itu “ ( HR Bukhori )
Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy :
a) Al-Quran lafadz dan maknanya dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsy
maknanya dari Allah SWT, sedangkan lafadnya dari Nabi SAW
b) Al-Quran, tilawah atau membacanya adalah bentuk ibadah akan tetapi Hadits
Qudsy tidak.
c) Al-Quran disyaratkan dalam periwayatannya harus tawatur, sedangkan hadits
qudsy tidak disyaratkan.
d) Al-Quran bersifat mukjizat, sedangkan hadits Qusdy sebagaimana hadits yang
lainnya
Perbedaan antara Hadits Qudsy dengan Hadits Nabawy :
Jelas bahwa hadits nabawi disandarkan pada Nabi SAW dan dikisahkan dari beliau,
sedangkan hadits Qudsy nisbahnya kepada Allah SWT, dan Rasulullah SAW yang
mengkisahkan dan meriwayatkan dari-Nya. Jumlah hadits Qudsy sedikit .
D. PENGERTIAN DAN ISTILAH DASAR MUSTHOLAHUL HADITS
17
Pengertian, Objek dan Fungsi
• Yang dimaksud dengan Ilmu Mustholahul Hadits adalah : Ilmu tentang pokokpokok
dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan
sebuah hadits dari sisi diterima atau tidaknya.
• Objek pembahasannya adalah : Sanad (jalan hadits) dan matan (lafadz hadits)
dari sisi diterima atau tertolaknya.
• Fungsi dari ilmu ini adalah : membedakan hadits yang shohih dengan yang cacat
dari hadits-hadits yang ada.
Beberapa Istilah Dasar Mustholahul Hadits
1) Sanad , secara bahasa : bersandar, menyandarkan . Secara istilah : jalan yang
menyampaikan matan, silsilah orang-orang yang menyampaikan matan. Isnad :
mengangkat hadits pada orang yg menyampaikan atau sama juga dengan sanad
2) Al-Musnad : secara etimologis adalah : Siapa yang disandarkan sesuatu
padanya. Secara istilah bisa berarti beberapa makna, antara lain :
o Setiap kitab yang berisi kumpulan riwayat dari setiap sahabat, mis : Musnad
Abu Bakar, Ustman dst.
o Hadits Marfu' yang bersambung sanadnya.
o Terkadang juga berarti "sanad" itu sendiri.
3) Al-Matan : Secara bahasa : bagian bumi yang kokoh dan tinggi, adapun secara
istilah : adalah apa-apa yang ada di akhir sanad (jalan hadits) berupa
ucapan/perkataan
Tingkatan Ahli Hadits
1) Al-Muhaddits : adalah orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits baik
secara diroyah maupun riwayah, dan juga mengetahui banyak riwayat dan
keadaan perawinya.
2) Al-Hafidz : ada yang menyamakan dengan muhaddits, ada juga yang
menganggap derajatnya lebih tinggi dari muhaddits, karena apa yang ia ketahui
dalam setiap thobaqoh (tingkatan perawi hadits) lebih banyak daripada yang ia
tidak tahu.
3) Al-Hakim : Bagi sebagian ulama, ia adalah yang menguasai ilmu tentang semua
hadits, sehingga dikatakan tidak terlewat darinya kecuali sejumlah kecil hadits.
E. PEMBAGIAN HADITS MENURUT JUMLAH PERAWINYA
18
Hadits menurut proses periwayatan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
mutawattir dan ahad. Keduanya mempunyai pembahasan tersendiri sebagaimana
berikut :
PERTAMA : HADITS MUTAWATIR
Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabbi’ yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang
dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan."
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan
itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari
peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak
merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri
oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi
yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2) Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
• Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
• Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
• Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang
19
mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah
200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
• Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.
Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah: "Wahai nabi cukuplah Allah dan
orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
Tarjih dari Mahmud Muhammad Thohan ( Taysir Mustholah hadits) adalah
jumlah sepuluh perawi.
3) Jumlah tawattur ada baik dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syaratsyarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat
bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu
Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar.
Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan
hadits.
Hukum Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri dan yakin, yakni keharusan untuk
menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia
membawa keyakinan yang qath'i (pasti) tanpa perlu diragukan, bahkan tanpa perlu
melihat kembali pada kondisi perawinya yang demikian banyak.
Pembagian Hadits Mutawatir
Mutawattir terbagi menjadi dua: Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir
maknanya saja.
1) Muttawattir lafadzy : adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz.
Misalnya sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin
menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
20
2) Muttawattir makna :adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun
lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya
hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf, hadits tentang
membasuh atas khuf, mengangkat kedua tangan dalam doa, tentang al-Quran
diturunkan dalam tujuh huruf, dst.
KEDUA : HADITS AHAD
Kata Aahad secara bahasa adalah bentuk jamak dari ‘ahad’ yang bermakna ‘satu’.
Maka khobar wahid adalah yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Adapun
pengertian Khobarul Ahad secara istilah adalah : hadits yang tidak terkumpul
padanya syarat mutawattir. Hadits Ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :Hadits
Masyhur, Aziz dan Gharib.
Hadits Masyhur :
• Secara istilah, hadits masyhur adalah : hadits yang diriwayatkan minimal tiga
perawi dalam setiap tingkatannya selama belum mencapai jumlah tawattur.
Contoh hadits Masyhur adalah, diriwayatkan dari Amr Ibn Ash, Rasulullah SAW
bersabda :" Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari
hambanya, akan tetapi dengan mengangkat para ulama (meninggal), hingga
ketika tidak tersisa seorang alim, orang-orang menjadikan pemimpin mereka
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa
menggunakan ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan" (HR Bukhori dan
Muslim)
• Selain definisi di atas, ada juga pengertian hadits masyhur yang tanpa terikat
dengan jumlah perawinya. Yaitu hadits yang 'masyhur' atau benar-benar dikenal
secara umum, baik pakar hadits, fiqh maupun orang awam.
Contoh : " Hal yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq
(perceraian) " (HR Al-Hakim)
• Hadits Masyhur tidak bisa langsung dihukumi sebagai hadits shohih atau tidak,
karena di dalamnya ada yang termasuk kategori shohih, hasan, dhoif atau
bahkan maudhu’.
Hadits 'Aziz :
21
yaitu hadits yang diriwayatkan minimal dua perawi dalam semua tingkatannya .
Contoh hadits aziz, Rasulullah SAW bersabda dari Anas bin Malik:
" Tidak (sempurna) keimanan seorang dari kalian, hingga aku lebih ia cintai dari
orangtuanya, anaknya, dan orang lain semuanya " ( HR Bukhori dan Muslim)
Hadits Ghorib :
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi saja, baik di asli sanadnya (
shohabat) yang disebut dengan Gharib Mutlaq, ataupun di tengah dan akhir
tingkatan sanadnya yang disebut Ghorib Nisby.
• Contoh Gharib Mutlaq adalah hadits tentang Niat : Innamal a'maalu
binniyat..dst, yang diriwayatkan sendirian oleh Umar bin Khatab ra pada asli
sanadnya.
• Contoh Gharib nisby adalah hadits Malik dari Zuhri dari Anas ra : bahwa
Rasulullah SAW memasuki Mekkah dan di atas kepalanya ada mighfar
(semacam topi besi) (HR Bukhori Muslim). Dalam hadits ini Malik sendirian
menerima dari Az-Zuhri.
22
MATERI 4 :
HADIST SHOHIH DAN PEMBAHASANNYA
Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya
terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari
keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan
demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
1) Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
2) Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen)
3) Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
4) Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
A. PENGERTIAN SHOHIH
Secara bahasa (etimologi), kata shohih (sehat) adalah antonim dari kata saqiim
(sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya
(haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya,
maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanadnya
melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat
semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur sanad), dengan tanpa adanya syudzûdz
(kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Penjelasan Definisi & Syarat Hadits Shohih
1) Ittisolu sanad : Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat
di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
2) Adalatu rowy :Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan
juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
3) Ad-Dlobit : Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan
pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)
23
4) Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori
Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih Tsiqah darinya)
5) Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl
(yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar,
tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya
kelihatan terhindar darinya.
B. CONTOH HADIST SHOHIH
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya
kami berikan sebuah contoh untuk itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-
Bukhâriy, dia berkata:
‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan
kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari
ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam
telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a) Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya
mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ‘an (dari) oleh Malik,
Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya
karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai
Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
b) Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut
data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-
Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm
Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka
berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
c) Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih
kuat darinya.
24
d) Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
C. HUKUM HADITS SHOHIH
Wajib mengamalkan hadits shohih menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan
para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan
demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan
bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya.
D. KITAB YANG MENULISKAN HADITS SHOHIH
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-
Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih
setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.
Antara Shohih Bukhori dan Muslim
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling
banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy
paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di
dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat
pada kitab Shahîh Muslim. Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam
sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian
hadits-hadits al-Bukhariy. Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang
menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar
adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.
Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam
kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuan
mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang
menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati
atasnya.”
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka
dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa
banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al-
Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang
25
aku tinggalkan lebih banyak.” Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus
ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Jumlah Hadits dalam Shohih Bukhori Muslim
• Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
• Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.
E. KITAB SHOHIH YANG LAINNYA
Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti
Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan,
Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain. Hanya dengan keberadaan
hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas
keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan
hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan
persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau
persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum
mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun
tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut
dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga
memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal
sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan)
di dalam penilaian keshahihan hadits.
Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap
kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi
telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap
26
kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini
masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh.
Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun
per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm
Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di
dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama
Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H
dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan
bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan
hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)
Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena
penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali.
Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu
keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.
F. TINGKATAN KESHAHIHAN SEBUAH HADITS
Jalur Periwayatan /Sanad yang Terbaik
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan
secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan
keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara
sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat
keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad
tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian,
sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap
paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat
yang menurutnya lebih kuat.
27
Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling
shahih adalah:
a) Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
b) Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan
yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
c) Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini
adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
d) Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
e) Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari
Imam al-Bukhariy.
Tingkatan Hadits Shohih
Pada bagian yang sebelumnya telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama
telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih
menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratanpersyaratan
lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki
beberapa tingkatan:
a) Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang
paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
b) Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl
(rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada
sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari
Anas.
c) Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayatperiwayat
yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling
rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti
riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Tujuh Tingkatan Hadits Shohih
1) Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini
tingkatan paling tinggi)
2) Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
3) Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
28
4) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan
keduanya tidak mengeluarkannya
5) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia
tidak mengeluarkannya
6) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak
mengeluarkannya
7) Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah
dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits
tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
G. ISTILAH TERTENTU DALAM HADITS SHOHIH
Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh”
Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat
keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak
berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang
Tsiqah keliru atau lupa.
Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa
semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya,
namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja
seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar.
Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-
Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan
kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam
makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk
menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)
Sementara itu, pendapat lain dari Ibnu Taimiyah al-Jad, khususnya dalam kitab
haditsnya “ Muntaqo al-akhbaar min ahadiitsu sayyid al-akhyaar”, ia menyebutkan
istilah “muttafaq” alaihi untuk hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim
dan Ahmad. Sementara untuk yang hanya dikeluarkan oleh imam bukhori dan
29
Muslim, beliau menyebutkan istilah “ akhrojaahu “ ( dikeluarkan oleh mereka
berdua)
H. HADITS SHOHIH LIGHOIRIHI
Pengertian
Hadist Shohih lighoirihi adalah Hadist Hasan Li Dzatihi yang mempunyai riwayat dari
jalan lain yang setara dengannya atau bahkan lebih kuat darinya. Dinamakan shohih
lighoirihi (karena yang lainnya), karena keshahihan disini tidak muncul dari sanadnya
tersendiri, tetapi karena bergabungnya sanad atau riwayat lain yang menguatkan
hadits tersebut.
Tingkatan Hadits Shohih Lighoirihi
Tingkatannya termasuk tingkatan hadits hasan yang paling tinggi, tetapi dibawah
shohih lidzatihi. Dan termasuk kategori khobaru maqbul , yaitu kabar atau
periwayatan hadits yang diterima.
Contoh Hadits Shohih Lighoirihi
Hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi
Hurairoh bahwa Nabi SW bersabda :
Tingkatan hadits di atas masuk pada kategori hasan lighorihi. Menurut Ibnu Sholah :
karena Muhammad bin Amr bin al-Qomah sebenarnya dikenal sebagai perawi yang
jujur dan amanah, namun ia tidak termasuk mereka yang kuat hafalan. Sehingga
sebagian mendhaifkannya karena termasuk orang yang lemah dalam hafalannya,
namun sebagian lain menganggapnya tsiqoh karena kejujuran dan kemuliannya.
Sehingga asli hadits ini masuk kategori hasan li dzatihi.
Namun kemudian diketahui bahwa hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh
al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari dan yang lainnya, maka ketakutan lemahnya
hafalan Muhammad bin Amr dalam hadits ini menjadi hilang, dan terangkat
tingkatannya menjadi shohih lighoirihi.
30
[Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân- terjemahan oleh Abu Al
Jauzaa]
31
MATERI 5 :
HADIST HASAN DAN PEMBAHASANNYA
A. PENGERTIAN HADITS HASAN
Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti
al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits
hasan sebagai berikut,
a) Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat,
para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh
banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
b) At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam
sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula
melalui jalan lain.
c) Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya
bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.
Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang
diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak
ada syudzudz dan illat.
B. SYARAT HADITS HASAN
Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun
tingkat kedlobitanya (kekuatan hafalan) berbeda.
a) Sanadnya bersambung,
b) Perawinya adil, ,
c) Dlobith, lebih rendah dari hadits shahih
d) Tidak ada illat,
e) Tidak ada syadz,
Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya)
dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain). Apabila hanya disebut
“Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan
32
seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya
muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah
mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilanya sedikit
di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya. Hadits hasan lighairihi
adalah hadits dhoif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada
menguatkan sanad yang dhoif tersebut.
C. HUKUM HADITS HASAN
Hadits Hasan bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih,
meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai
hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’
ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar
mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap
berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.
D. CONTOH HADITS HASAN
Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata: “Telah bercerita kepada kami Qutaibah,
telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni,
dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku
berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda:
“Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali
Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’I yang masuk dalam kategori hasanul hadits, maka
turunlah tingkatan dari shohih menjadi hadits hasan.
E. ISTILAH DALAM HADITS HASAN
Tingkatan dari Pernyataan: Hadits Shahih Isnad atau Hasan Isnad.
Pernyataan ahli hadits: ‘Hadits ini shahih isnad’ berbeda maknanya dengan
pernyataan ‘ini hadits shahih’. Begitu pula halnya dengan pernyataan mereka:
‘Hadits ini hasan isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits hasan’.
33
Pernyataan (hadits ini shahih isnad atau hadits ini hasan isnad) karena sanadnya
memang shahih atau hasan tanpa memperhatikan matan, syudzudz maupun adanya
illat. Apabila seorang ahli hadits mengatakan: ‘Hadits ini shahih’, itu berarti hadits
tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yang lima. Lain lagi jika ia
mengatakan: ‘Hadits ini shahih isnad’, itu berarti hadits tersebut memenuhi tiga
syarat keshahihan saja, yaitu sanadnya bersambung, rawinya adil dan dlobith.
Adapun tidak adanya syudzudz dan illat, berarti hadits tersebut tidak bisa
memenuhinya. Karena itu tidak bisa ditetapkan sebagai hadits shahih ataupun
hasan. Meski demikian, apabila seorang hafidh mu’tamad (dalam hadits) meringkas
penyataan dengan: ‘Hadits ini shahih isnad’, sementara ia tidak menyebutkan
adanya illat, maka berarti matannya juga shahih. Sebab, pada dasarnya hadits
tersebut tidak memiliki illat maupun syudzudz.
Arti Hadits Hasan Shahih
Kenyataan ungkapan seperti ini amat sangat sulit, sebab hadits hasan itu derajatnya
lebih rendah dari hadits shahih. Maka, bagaimana menggabungkan keduanya
sementara tingkatan keduanya berbeda?. Para ulama’ telah menjawab maksud dari
pernyataan Tirmidzi dengan jawaban yang bermacam-macam. Yang terbaik adalah
pernyataannya al-Hafidh Ibnu Hajar yang disetujui oleh as-Suyuthi, ringkasannya
sebagai berikut :
a) Jika haditsnya mempunyai dua buah sanad atau lebih, maka berarti hadits
tersebut adalah hasan menurut shahih satu sanad, dan shahih menurut sanad
lainnya.
b) Jika haditsnya mempunyai satu sanad, maka berarti hadits tersebut adalah
hasan menurut satu kelompok, dan shahih menurut kelompok lainnya.
Jadi, seakan-akan orang yang mengatakan hal itu menunjukkan adanya perbedaan
dikalangan ulama’ mengenai status (hukum) hadits tersebut, atau tidak memperkuat
status (hukum) hadits tersebut (apakah shahih ataukah hasan).
F. KITAB-KITAB YANG BANYAK DITEMUKAN HADITS HASAN
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang
memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits
Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab
34
yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling
masyhur adalah:
1) Kitab Jâmi at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy.
Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-
Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya
dan orang yang paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan
catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat
ungkapan beliau, Hasan Shohih, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu
harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq
(dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript)
yang dapat dipercaya.
2) Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di
dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya
menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di
dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya
sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka
berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak
beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang
menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3) Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara
tertulis di dalam kitabnya ini.
G. HASAN LIGHOIRIHI
Pengertian
Hadits Hasan lighoiri adalah hadist dhoif yang mempunyai banyak jalan periwayatan,
dan sebab kedhaifan hadits tersebut bukan karena kefasiqan perawinya atau
kedustaannya. Dengan demikian, dari pengertian di atas, kita bisa ambil kesimpulan
bahwa hadits dhoif bisa naik tingkatannya menjadi Hasan lighoirihi dengan dua
syarat :
1) Diriwayatakan dari satu atau lebih jalan periwayatan lain, yang minimal jalan
tersebut setara dengannya atau lebih kuat kualitasnya.
2) Sebab kedhaifan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawinya,
atau terputus sanadnya, atau adanya status jahalah (tidak terkenal )pada
35
perawinya. Sehingga bukan karena kefasiqan perawi atau dikenal karena
kedustaannya.
Tingkatan dan Hukum Hadits Hasan Lighoirihi
Tingkatan hadits ini adalah dibawah hasan li dzatihi, sehingga jika ada pertentangan
harus didahulukan hadits hasan. Hadits hasan lighoiri termasuk kategori hadits
maqbul yang layak untuk dijadikkan hujjah dalam beramal.
Contoh hadits hasan lighoirihi
Yaitu yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau, dari jalan Syu’bah
dari Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Robi’ dari ayahnya, bahwa ada
seorang perempuan dari bani Fazaroh yang menikah dengan mahar sepasang
sandal. Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepadanya : “ Apakah engkau ridho
terhadap dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal ini ? “ Perempuan tadi
menjawab : “ Ya “. Maka kemudian Rasulullah SAW membolehkannya.
Di dalam sanad di atas ada nama Ashim bin Ubaidillah yang dikenal sebagai perawi
dhaif karena hafalannya yang buruk, namun Tirmidzi menghasankan karena
periwayatannya yang tidak hanya pada satu jalan saja.
(Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân,)
36
MATERI 6 :
SEPUTAR HADIST DHOIF
Setelah kita mempelajari tentang pembagian berita/ khobar yang maqbul (diterima)
atau layak dijadikan hujjah dan dalil, maka pembahasan kali ini adalah mengenai
khobar mardud atau riwayat hadits yang tertolak atau tidak bisa diterima sebagai
hujjah. Para ulama membagi khobar mardud ini dengan pembagian yang begitu
banyak, bahkan hingga mencapai empat puluh macam, dimana setiap macamnya
diberikan istilah khusus yang membedakan dengan yang lainnya, namun ada juga
yang tidak diberikan istilah secara khusus, dan diberikan istilah umum yaitu ‘dhoif’
saja.
Sebuah hadits masuk dalam kategori tertolak disebabkan oleh banyak hal, namun
umumnya bisa dikategorikan dalam dua sebab utama, masing-masing :
1) Adanya permasalahan pada sanad ( riwayat ), ada yang terputus atau hilang dan
semacamnya
2) Adanya tuduhan pada perawinya, bisa karena sisi hafalannya ( ad-dhobt) atau
juga karena sisi kepribadian dan ketakwaan ( ‘adalah)
Setiap sebab diatas kemudian menurunkan ragam macam hadits dhoif yang akan
dibahas lebih khusus dalam kesempatan materi berikutnya. Untuk pembahasan
awal, kita akan mengkaji seputar hadits dhoif secara umum.
A. PENGERTIAN HADITS DHOIF
Secara bahasa dhoif adalah lemah atau lawan kata dari qowiiy (kuat). Lemah disini
adalah maknawi bukan lemah dalam arti fisik. Secara istilah, hadits dhoif adalah
yang tidak mampu mengumpulkan sifat-sifat atau memenuhi syarat-syarat hadits
hasan.
Kelemahan hadits dhoif pun bertingkat-tingkat bergantung pada kelemahan para
perawinya, atau keburukan hafalannya, sebagaimana pula hadits shohih yang juga
mempunyai tingkatan. Maka kemudian dikenal penamaan yang beragam untuk
hadits dhoif , seperti : dhoif jiddan, munkar, wahy, atau yang paling buruk jenisnya
adalah maudhu’.
37
B. TINGKATAN SANAD HADITS DHOIF
Sebagaimana hadits shohih yang mempunyai tingkat dan kekuatan sanad yang
berbeda, sehingga ada yang disebut dengan asohhul asanid (sanad yang terbaik),
maka para ulama pun menyebutkan dalam pembahasan hadits dhoif apa yang
disebut dengan sanad yang terlemah atau “auha al asanid”. Diantara contoh dari
sanad (jalur periwayatan) hadits dhoif antara lain :
a) Dari jalur Abu Bakar As-Shiddiq : “ Shidqoh bin Musa ad-daqiqiy dari Farqod As-
Subhy dari Murroh At-Thiib dari Abu Bakar “
b) Dari jalur Ulama Syam : Muhammad bin Qois dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin
Yazid dari Qosim dari Abi Umamah “
c) Dari Jalur Ibnu Abbas : As-Suudy As-Shogir Muhammad bin Marwan dari al-
Kalby dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas.
C. CONTOH HADITS DHOIF
Salah satu contoh hadits dhoif adalah riwayat yang berbunyi :
" Barang siapa sholat enam rekaat setelah maghrib, dan tidak berbicara buruk
diantara itu semua, maka seimbang dengan ibadah dua belas tahun " (HR Tirmidzi) .
Hadits diatas diriwayatkan oleh Umar bin Rosyid dari Yahya bin Abi Bakar dari Abu
Salamh dari Abu Huroiroh. Tentang nama perawi Umar bin Rosyid di atas, Imam
Ahmad, Ad-Daruqutni mengatakan : dia dhoif. Imam Ahmad menambahkan
tentangnya : hadistnya tidak bernilai sedikitpun. Tirmidzi mengomentari hadits
tersebut : Ini Hadits Gharib kami tidak mengetahuinya kecuali melalui jalan Umar,
sementara saya mendengar Bukhori mengatakan tentangnya bahwa Umar : dia
munkarul hadits.
D. HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHOIF
Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif
dalam bidang aqidah (keyakinan) dan hukum halal harom. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana
berikut :
38
1) Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal) : Yaitu hadits-hadits yang
menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah
ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i,
juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa
besar.
2) At-Targhiib (Memotivasi) : Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian
semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3) At-Tarhiib (Menakut-nakuti) : Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman
Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu
perbuatan.
4) Al-Qoshos : Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5) Do’a Dan Dzikir : Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Dalam menyikapi permasalahan beramal dengan hadits dhoif , pendapat yang ada
terbagi menjadi tiga , masing-masing :
Pendapat Pertama : Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu
Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan
hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul
a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi SAW, perkataan/perbuatan yang
tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau. Sebagaimana peringatan dari beliau dalam
masalah ini : “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu
bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.”
(HR. Muslim) dan hadits lain : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Pendapat Kedua : Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits
dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul
a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang
hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi
memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan
hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya
telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
39
Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar
memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib
dengan tiga syarat berikut:
1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak
diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau
yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah
termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang
bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama
sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita
mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak
mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat Ketiga : Diriwayatkan dari sebagian besar fuqoha’ yaitu kebolehan
beramal dengan hadits dhoif secara mutlak, jika tidak ditemukan hadits selainnya
dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah,
Syafi’I, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini
bisa dipahami karena menurut beliau pembagian hadits adalah Shohih dan Dhoif
saja, sehingga sangat memungkinkan yang dimaksud imam Ahmad di sini adalah
hadits dhoif yang bernilai hasan.
E. KITAB YANG KEMUNGKINAN BANYAK TERDAPAT HADITS DHOIF
Berikut kitab-kitab yang di dalamnya diperkirakan berisi banyak hadits dhoif, antara
lain :
1) Tiga Mu’jam Thobroni baik yang al-kabiir, al-ausath, maupun yang as-shogiir
2) Kitab “ afrood “ yang disusun oleh imam Daruquthni
3) Kitab-kitab susunan Al-Khotib al-Baghdadiy
40
MATERI 7 :
RAGAM MACAM HADITS DHOIF
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa hadits dhoif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat shohih dan hasan. Secara umum Hadits dhoif dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar : yaitu dhoif karena suqut fi isnad ( ada
sanad yang gugur atau tidak bersambung), dan juga bagian yang disebabkan karena
at-tho’n fi rowy ( tuduhan pada perawinya). Berikut pembahasan singkat dan contoh
sederhana dari ragam hadits dhoif tersebut.
A. HADITS DHOIF YANG DISEBABKAN SANADNYA TERPUTUS
Hadits Dhaif yang masuk kategori jenis ini di bagi lagi menjadi : Hadits Muallaq,
Muaddhol, Mursal dan Munqoti’, dan Mudallas.
1) HADITS MUALLAQ
Pengertian :
Yaitu hadits yang pada permulaan sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi
secara berurutan. Yang dimaksud permulaan sanad ini adalah syaikh dari perawi
hadits yang menuliskan haditsnya tersebut. Termasuk dalam kategori ini yaitu yang
membuang semua sanad, lalu mengatakan langsung Rasulullah SAW bersabda : ….. .
Terkadang ada juga yang membuang sanad selain Sahabat.
Contoh hadits mualaq :
Yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam muqoddimah sebuah bab, Imam Bukhori
menyebutkan : Berkata Abu Musa Al-Asyarie : “ adalah nabi SAW menutupi pahanya
ketika datang Utsman “.
Maka hadits di atas masuk kategori muallaq, karena Imam Bukhori membuang
semua sanadnya kecuali sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’arie.
Hukum Hadits Muallaq
Hukum hadits muallaq secara umum termasuk tertolak (mardud) karena kehilangan
syarat ittisolu sanad (bersambungnya sanad), dengan membuang satu atau lebih
perawinya, tanpa kita mengetahui keadaan perawi yang dibuang. Namun para
41
ulama mempunyai pembahasan secara khusus, jika hadits muallaq tersebut ada
dalam kitab shohihain. Perlu diketahui bahwa jumlah hadits muallaq dalam shohih
Muslim sangat sedikit, ada yang menyebutkan cuma satu dalam bab Tayammum.
Namun hadits muallaq dalam shohih bukhori banyak, khususnya dalam pembukaan
sebuah bab tertentu. Maka kemudian ulama berpendapat tentang hukum hadits
muallaq dalam shohihain sebagai berikut :
1) Jika disebutkan dengan ungkapan yang kuat dan jelas , seperti : qoola ( ia
mengatakan), atau hakaa ( ia mengisahkan ), atau dzakaro ( ia menyebutkan) ,
maka dihukumi shohih.
2) Jika disebutkan dengan ungkapan yang mengambang, seperti : qiila (dikatakan..
) atau dzukira ( disebutkan .. ), atau hukiya ( dikisahkan … ) , maka perlu diteliti
lebih lanjut, karena bisa masuk shohih, hasan atau dhoif.
Namun meskipun demikian, Ibnu Hajar telah meneliti hadits-hadits muallaq dalam
shohih Bukhori melalui kitabnya “ taghliiqu ta’liq” yang menghasilkan temuan
bahwa sanad-sanad hadits muallaq imam Bukhori adalah bersambung.
2) HADITS MURSAL
Pengertian dan Contoh
Yaitu hadits yang disandarkan oleh Tabi’in langsung kepada Rasulullah SAW.
Misalnya seorang Tabi’in mengatakan : Rasulullah SAW bersabda ……, tanpa
menyebutkan perantara (wasithoh) antara dia dan Rasulullah SAW. Bisa jadi
perantara tersebut adalah seorang sahabat, atau seorang sahabat dan tabiin yang
lain misalnya.
Contoh hadits Mursal : Yang dikeluarkan imam Muslim dalam shohihnya kitab Jual
beli, ia menuliskan (setelah menyebutkan perawi setelahnya) dari Ibnu Syihab, dari
Saiid bin Musayyab, bahwasanya “
Rasulullah SAW melarang jual beli muzabanah (menukar buah kurma belum matang
yang masih di atas pohon dengan kurma yang ada di karung “. Said bin Musayyab
adalah pembesar tabi’in, ia tidak menyebutkan perantara antara dia dengan
Rasulullah SAW, maka tergolong hadits mursal.
Mursal Shohaby
Yaitu Hadist yang dikabarkan oleh sahabat tentang ucapan, perbuatan Rasulullah
SAW, sementara sahabat tersebut tidak mendengar atau melihat langsung, karena
42
masih kecil, atau belum masuk Islam, atau sedang bepergian. Contoh : ibnu Abbas,
ibnu Zubair dan yang lainnya.
Hukum Hadits Mursal :
a) Mursal sahabat disepakati penerimaannya oleh jumhur ulama.
b) Mursal Tabi’in diterima oleh Malikiyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah khususnya
yang berasal dari Kibaru Tabiin seperti Sa’ad bin Musayyab, Hasan Al Bashry,
Ibrahim an-Nakh’iy,
c) Imam Ahmad menolak mursal tabi’in, begitu pula Ibnu Sholah dalam
muqoddimahnya yang kemudian menjadi standar dalam ulumul hadits
secara umum.
3) HADITS MUNQOTHI’
Hadits Munqothi menurut Ulama Muhadditsin adalah : Hadist yang sanadnya
terputus pada salah satu atau lebih dari perawinya, dibawah tingkatan sahabat dan
tidak secara berturut-turut. Sementara menurut Fuqoha , hadits munqothi’ adalah
semua yang tidak bersambung sanadnya.
Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari Syauri, dari Abu
Ishaq, dari Zaid , dari Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau mengangkat Abu Bakar,
maka dia kuat lagi terpercaya “.
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin
Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari
riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah
termasuk hadits yang munqoti’.
4) HADITS MU’DLOL
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya.
Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya : Malik Mengatakan :
Telah sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “ bagi budak (berhak)
mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik sesuai kebiasaan)”. Hadits
ini tergolong hadits mu’dhlol karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat dua
43
tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin Ajlan, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah.
5) HADITS MUDALLAS
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya untuk
menyembunyikan aib sanadnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam,
gambaran umumnya sebagai berikut :
a) Tadlis Isnad : perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui atau
yang ia hidup sejaman dengannya, tetapi sebenarnya ia tidak pernah
mendengar hadits tersebut langsung darinya. Karenanya ia menggunakan
lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan (dari fulan) .. qoola fulan (berkata
fulan), yang tidak menunjukkan arti ia mendengar darinya. Jika perawi
tersebut menggunakan kata yang jelas seperti : aku mendengar dari fulan ,
maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis.
b) Tadlis Taswiyah : Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian
menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif yang terdapat diantara
dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan bertemu, dengan
menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk menjaga
hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua.
c) Tadlis Suyukh : menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk kategori
dho’if dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga
menjadi tidak dikenal. Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud
adalah Abu Bakar bin Abi Daud
B. HADITS DHOIF KARENA PERMASALAHAN PADA PERAWI
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyusun urutan tingkatan kelemahan sebuah hadits dari sisi
ini menjadi tujuh : Maudhu’, Matruk, Munkar, Muallal, Mudroj , Maqlub dan
Mudthorib
1) HADITS MAUDHU’
Pengertian & Hukumnya
44
Hadits yang disebabkan karena perawinya berdusta atas nama Rasulullah SAW maka
disebut dengan hadits maudhu’. Secara istilah, hadits maudhu’ adalah khabar palsu
dan dusta yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Secara tingkatan hadits dhoif, hadits
maudhu’ masuk dalam tingkatan yang paling buruk dari yang lainnya, sehingga
sebagian ulama lain memasukkan dalam kategori yang tersendiri, tidak termasuk
dalam golongan hadits dhoif. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh
meriwayatkan hadits maudhu’ -dengan sepengetahuannya- tanpa menjelaskan
tentang status kepalsuannya tersebut.
Bagaimana Mengenali Hadits Maudhu’ ?
Hadits maudhu’ bisa dikenali melalui beberapa hal sebagai berikut :
a) Pengakuan dari pemalsu hadits tersebut, sebagaimana pengakuan Abi Ismah
Nuh bin Abi Maryam, yang mengaku bahwa ia telah membuat hadits tentang
fadhilah setiap surat dari Al-Quran dengan mengatasnamakan dari Ibnu Abbas.
b) Semacam pengakuan secara tidak langsung. Misalnya seorang meriwayatkan
hadits dari syeikhnya, kemudian ditanya tentang tanggal wafatnya syeikh
tersebut, ternyata wafatnya sebelum ia lahir, sementara hadits itu tidak dikenal
kecuali dari jalurnya sendiri.
c) Bukti pembanding (qorinah) yang ada pada diri perawi, seperti bahwa perawi
masuk dalam golongan rofidhoh sementara haditsnya berkaitan tentang
keutamaan ahlul bait, misalnya.
d) Keterangan dalam matan atau konteks hadits, yang biasanya berlebihan,
menyalahi logika atau penjelasan Al-Quran.
Motivasi membuat Hadits Maudhu’
1) Penodaan dan Pelecehan Agama : Yaitu membuat hadits palsu untuk membuat
keraguan dalam ajaran Islam atau hal-hal baru yang menyesatkan. Misalnya
Muhammad bin Said as-Syaami yang meriwayatkan dari Humaid dari anas
secara marfu’ : “ aku penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah
berkehendak lain “.
2) Menuruti Hawa Nafsu untuk Memenangkan Golongannya : sebagaimana yang
dibuat oleh pengikut rafidhoh yang melebih-lebihkan Ali bin Abi tholib untuk
menguatkan dan memenangkan madzhabnya.
45
3) Upaya mendekati Penguasa : sebagian yang lemah iman berupaya
memunculkan hadits palsu untuk mendapatkan simpati dan kedekatan dengan
para penguasa, baik gubernur maupun khalifah pada waktu tersebut.
4) Mengejar Popularitas dan Ketertarikan Manusia : dengan hadits yang palsu
tersebut ia membuat banyak orang terperangah dengan kisah-kisah hebatnya
yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Contoh dalam hal ini adalah
Abu Said al Madainy yang menjadikan kisah-kisah tersebut diperdengarkan ke
pada orang-orang agar mereka memberikan uang sebagai penghargaannya.
5) Motivasi Beramal Sholih : ini bentuk maudhu’ yang tersembunyi karena
seringkali manusia tertipu, mengingat isi hadits ini berisi kebaikan, berupa
fadhilah dan keutamaan sebuah amal yang sangat memotivasi bagi yang
mendengarnya untuk dikerjakan. Contohnya : “barang siapa yang sholat dhuha
maka mendapat pahala 70 nabi. “
2) HADITS MATRUK
Adalah hadits yang didalam sanadnya ada perawi yang disangka suka berdusta.
Sebab tuduhan dan sangkaan ini bisa jadi karena salah satu dari hal berikut.
Pertama, bahwa memang tidak ada riwayat lain dari hadits tersebut kecuali dari
jalannya. Kedua, perawi dikenal dengan pendusta dalam ucapan-ucapannya
terdahulu, meskipun belum muncul atau terbukti dalam hadits nabawi.
Contoh hadits matruk : Hadits seorang penganut syiah Amru bin Syamir al-Kuufi :
dari Jabir dari Abi Thufail dari Ali dan ‘Ammar keduanya mengatakan : adalah Nabi
SAW melakukan qunut pada sholat fajr, dan memulai bertakbir pada hari arafat
pada sholat shubuh, dan menghentikannya pada sholat ashar hari tasyriq yang
terakhir”. Imam An-Nasa’iy dan Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang
Amru bin Syamir : matrukul hadits .
3) HADITS MUNKAR
Hadits munkar mempunyai setidaknya dua pengertian dengan penekanan yang
berbeda :
1) Hadits yang di dalam sanadnya ada satu perawi yang dikenal buruk
hafalannya, atau sering teledor (lalai) atau terlihat kefasikannya.
46
2) Menurut Ibnu Hajar : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhoif yang
bertentangan dengan riwayat perawi lain yang tsiqoh.
Tingkatan hadits ini termasuk kategori dhoif jiddan (lemah sekali) dan mengikuti
tingkatan hadits setelah matruk. Contoh hadits ini ( pengertian pertama ) : Yang
diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari riwayat Abu Zukair Yahya bin
Muhammad bin Qois dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra secara
marfu’ : “ makanlah balah (jenis kurma kering) dan kurma, sesungguhnya setiap ibnu
adam memakannya, setan menjadi marah. “. Imam An-Nasaiy mengatakan : ini
hadits munkar, diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zukair, dia adalah seorang
syaikh sholeh, tetapi diragukan hafalannya khususnya jika meriwayakan sendirian.
4) HADITS MUA’LLAL
Yaitu hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau aib yang
menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir terlihat selamat dari cacat
tersebut. Aib atau cacat tersebut bisa jadi ada pada sanad ataupun matannya, atau
bahkan keduanya.
Contoh illat yang ada pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dari
Sufyan At-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, ia bersabda : “
kedua penjual dalam masa tenggang pemilihan …… “. Permasalahan sanad di atas
adalah, kesalahan Ya’la bin Ubaid yang menyebutkan perawi sebelum Sufyan at-
Tsauri sebagai Amru bin Dinar, padahal para ulama hadits lain menyebutkan bahwa
yang benar adalah : “Abdullah bin Dinar” bukan “Amru bin Dinar”.
5) HADITS MUDROJ
Yaitu hadits yang diubah susunan sanadnya atau disisipkan dalam lafadz matannya
apa-apa yang bukan bagian dari hadits tersebut, tanpa batasan pemisah. Misal
hadits mudroj: seorang syaikh sedang menyampaikan hadits pada murid-muridnya,
lalu ada sebuah kondisi atau kejadian yang membuatnya berhenti dan mengatakan
sebuah perkataan lain bukan dari hadits, namun disangka oleh murid-muridnya itu
adalah bagian dari hadits yang akan disampaikan. Kondisi ini bisa terjadi pada
sanadnya atau juga matan hadits, dimana ada perkataan lain yang ikut dimasukkan
dalam lafadz hadits tanpa garis pemisah yang jelas dengan hadits aslinya.
47
Contoh hadits Aisyah seputar permulaan wahyu : “ dahulu Nabi SAW betahannuts
(menyendiri) di gua hiro – yaitu beribadah – beberapa malam tertentu “. Ungkapan
“ yaitu beribadah” adalah perkataan Zuhri bukan Aisyah ra.
6) HADITS MAQLUB
Yaitu hadits yang didalamnya ada penggantian atau pembalikan lafadz hadits baik
dalam sanad maupun matannya, penggantian tersebut bisa dengan mengganti yang
awal jadi akhir, atau akhir jadi awal dan semacamnya. Contoh hadits maqlub : yang
diriwayatkan oleh Hamad bin Amru –al kadzzab- dari al-A’masy dari Abi Sholih, dari
Abu Hurairoh secara marfu’ : “ jika engkau bertemu dengan orang musyrikin di jalan
maka jangan mulai memberi salam “. Hadits ini maqlub, sanadnya diganti dari
a’masy, padahal sudah dikenal yang benar adalah dari Suhail bin Sholih dari ayahnya
dari Abu Huroiroh.
7) HADITS MUDHTORIB
Yaitu hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam yang
mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak memungkinkan untuk
digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan tidak memungkinkan pula ditarjih
(dipilih) salah satu dari keduanya.
Bentuk idhtirob dalam hadits ini bisa jadi dalam sanad atau bisa jadi dalam
matannya. Seperti, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Fatimah binti
Qois, ia berkata : Rasulullah ditanya tentang zakat, lalu beliau menjawab : “
sesungguhnya dalam harta kita, ada kewajiban selain zakat”. Sementara Ibnu Majah
dengan riwayat : “ sesungguhnya tidak kewajiban dalam harta selain zakat”.
Selain pembagian dan istilah hadits di atas, terdapat juga hadits dhoif jenis kategori
lain dengan sebab yang beragam pula, kami sebutkan secara sederhana sebagai
berikut :
• Hadits Majhul : hadits yang dalam sanadny ada perwai yang tidak diketahui jarh
dan ta’dilnya.
48
• Hadits Mubham : Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian
sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul),
dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
• Hadits Syadz : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh namun
bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat dan perawinya
lebih tsiqoh
• Hadits Mushohhaf : Yaitu hadits yang terdapat perubahan dari sisi penulisannya,
baik dalam sanad dan matan. Misal dalam matan : ‘ihtajaro ..’ menjadi “
ihtajama ..”, atau misal dalam sanad : nama perawi jamroh mestinya hamzah.
49
MATERI 8 :
ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
A. PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL
Pengertian Aj-Jarh :
1) Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha yajrohujarhan
, yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat
mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat “
jaroha al-hakim asy-syaahid“ yang berarti “hakim itu menolak saksi”.
2) Adapun Menurut Istilah, al-Jarh ialah: “Menampakan suatu sifat rawi yang
dapat merusak sifat ‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan
ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya atau
menyebabkan riwayatnya tertolak”.
Pengertian at-Ta’diil
1) ‘Adl secara bahasa berarti : apa yang tegak dalam hati yang menunjukkan lurus
dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa diterima
kesaksiannya.
2) Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah : yang tidak nampak sifat-sifat
merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima kesaksian dan
pengabaran darinya.
3) Sementara Ta’diil adalah : mensifati perawi dengan sifat-baik baik (tazkiyah)
sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan diterima riwayat darinya.
Dengan demikian, ilmu jarh wa ta’diil adalah : ilmu yang membahas di dalamnya
seputar Jarh (rekomendasi) dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz dan
istilah tertentu, untuk menilai diterima atau ditolak riwayat dari mereka.
B. DASAR KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL
Para Ulama menyatakan legalitas dan kebolehan Jarh wa Ta’dil, serta tidak
memandangnya sebagai ghibah yang diharamkan, berdasarkan beberapa dalil
diantaranya :
50
Pertama : Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.(QS. Al-Hujurat: 6).
Kedua : Rasulullah SAW bersabda tentang Muawiyah dan Abi Jahm ketika Fatimah
binti Qais bertanya kepada beliau perihal keduanya yang sama-sama meminangnya.
Rasulullah SAW bersabda :” Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari
pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah
sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim)
Ketiga : Banyak hadits lain yang menyebutkan Rasulullah SAW memuji dan
merekomendasikan beberapa sahabatnya yang mulia, bahkan ada yang disebutkan
sebagai seorang yang mempunyai nilai kesaksian setara dua kesaksian sahabat, yaitu
Abu Khuzaimah al Anshori.
Selain itu semua, sesungguhnya al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa
sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Karena itulah, para ulama
membolehkannya dalam rangka menjaga kepentingan syari’at Islamiyah, bukan
mencela dan membuka aib orang lain. Semua dalam rangka memelihara sumber
syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
C. KETENTUAN JARH WA TA’DIIL
Berikut beberapa ketentuan dalam jarh dan ta’diil, antara lain :
1) Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara
apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “ Anda
mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa
menyebut-nyebutnkebaikannya”
2) Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat
membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3) Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama
senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan
51
hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi
seorang ulama cukup mengatakan: “ la yakun tastaqiimu lisan” artinya“ kurang
istiqomah dalam berbicara” .
4) Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para
ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah
disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak
menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”.
Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh,
umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa
diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau
tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Cara Mengetahui Sifat ‘Adalah seorang Perawi
Untuk mengetahui ‘adalahnya seorang perawi menurut Ujaj al-Khatib ada dua jalan:
Pertama : Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila
seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas,
Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
Kedua : Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan
seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara
mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
D. TINGKATAN DAN LAFADZ-LAFAZD JARH DAN TA’DIL
Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat ‘adalah sekalipun, tidak berarti
mereka pada tingkatan yang sama. Karena itulah terdapat istilah dan lafadz khusus
dikalangan ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi, baik dari
sisi ‘adl maupun jarah
Marothibu At-Ta’diil ( Tingkatan Ta’diil)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-ta’diil:
1) Tingkatan Pertama : Menunjukkan rekomendasi secara mubalaghoh
(berlebihan), dan menggunakan isim tafdhiil untuk menunjukkan paling utama.
Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang yang paling kuat
52
haditsnya), autsaqo naas ( paling terpercaya), adhbatu naas ( paling kuat
hafalannya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukkan penguatan sifatsifat
adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan misalnya: tsiqoh tsiqoh ( benarbenar
tsiqoh ), tsiqoh ma’muun (terpercaya dan terjamin).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan sifat tsiqoh tapi
tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah .
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi
memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara khusus.. Lafadz yang
digunakan misalnya: la ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq,
ma’muun.
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang samar atau tidak menunjukan
bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz yang digunakan misalnya: fulaan
syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas ( orang meriwayatkan darinya)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang mengarah atau mendekati pada
tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits , yuktabu haditsuhu ( tercatat
haditsnya)
Hukum Tingkatan Ta’diil :
- Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya layak dijadikan hujjah
meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
- Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tapi
haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat ketelitian mereka dengan
membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh.
- Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan haditsnya bisa
dituliskan untuk i’tibaar semata.
Marothibu Al-Jarh ( Tingkatan Jarh)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh:
1) Tingkatan Pertama : Mengemukakan sifat perawi untuk menunjukkan
kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan. Lafadz yang digunakan
misalnya : fiihi dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi maqool ( dia banyak
dibincangkan), layyinul hadits ( lemah haditsnya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu
lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif (
53
dia lemah ), lahu manakiir (banyak yang mengingkarinya), majhuul ( dia tidak
dikenal).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits yang
diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya tidak dituliskan. Lafadz yang
digunakan : la yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits darinya), la tahillu riwayah
( tidak boleh meriwayatkan) ,
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa
perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa muttaham bil
kadzib, (dia tertuduh sbg pendusta)atau muttaham bil wad’iy ( dia dianggap
pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak
terpercaya)
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi
memang pendusta dan pemalsu.. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa
kadzzab (dia pendusta), atau huwa waddhoo’ (dia pemalsu hadits), atau juga
dajjal (dia seperti dajjal /pendusta)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi
yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan). misalnya dengan kata-kata:
akdzabu nnas ( paling pendusta) , ruknul kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi
muntahal kadzib (dia puncaknya kedustaan).
Hukum Tingkatan Jarh :
- untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak bisa dijadikan
hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja.
- Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam, maka
haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak perlu
dianggap ada.
E. PERTENTANGAN JARH DAN TA’DIL
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorag
perawi,. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Pada suatu kondisi hal tersebut tidak bisa dikompromikan, maka pendapat yang ada
sebagai berikut :
54
a) Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak
dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat
jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui
(cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara
jeli oleh orang yang menta’dil.
b) Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari
ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan
mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama
yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil
sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
c) Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah
satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa
kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang
menguatkan salah satunya.
d) Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali
setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya
seorang perawi.
Menurut Ujaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh
dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima
atau ditolaknya periwayatan mereka. ( disarikan dan digubah dari artikel Endad
Musaddad).
55
MATERI 9 :
RAMBU-RAMBU MEMAHAMI SUNNAH
A. ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS
Kisah Umar ra dan Abu Musa Al-Asyari
Dalam riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Aku sedang dudukduduk
dalam majlis orang-orang Ansar di Madinah lalu tiba-tiba Abu Musa ra.
datang dengan ketakutan. Kami bertanya: Kenapa engkau? Ia menjawab
(menceritakan kejadian yang membuatnya takut) : Umar menyuruhku untuk datang
kepadanya. Aku pun datang. Di depan pintunya, aku mengucap salam tiga kali tetapi
tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi, ketika bertemu lagi, ia bertanya: Apa
yang menghalangimu datang kepadaku? Aku menjawab: Aku telah datang
kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan pintumu. Setelah tidak ada
jawaban, aku kembali. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila salah seorang
di antara kalian minta izin tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka
hendaklah ia kembali. Mendengar hal tersebut Umar bin Khottob mengatakan
dengan tegas : “ Demi Allah, engkau harus mempunyai bukti bahwa ada saksi lain
yang mendengar dari Rasulullah SAW “.
Ubay bin Ka’b yang memahami ketakutan Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan : “Demi
Allah, sungguh tidak perlu bersaksi untukmu dalam masalah ini, kecuali yang paling
kecil di antara kami”. Karena pada waktu itu Abu Said Al Khudry adalah yang terkecil,
maka ia pun memberikan kesaksian kepada Umar.
Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar
bin Khottob ra. dalam menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg
merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi
SAW. Sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat Abu Musa Al
Asy’ari ra :
“ Saya tidak menuduh dan meragukanmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan
mengada-adakan perkataan atas nama rasulullah SAW”.
Abu Musa dan Aisyah ra.
56
Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : “
Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya”. maka
Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya,
melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata
: Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari
Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT
akan menambah azab bagi orang-orang kafir”. Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits
abu Hurairah tersebut bertentangan dg ayat al-Qur'an :” Dan sesungguhnya
seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat yang lain dari Umar ra,
Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari
segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun Abu Hurairah) shahih, maka
ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdzabu artinya yata'allama (merasa
sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami
hakikat kehidupan, sehingga mereka menangisinya.
B. KERANGKA DALAM MEMAHAMI HADITS
Pertama : Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi
Dhau'il Qur'an )
Artinya memahami fungsi as-Sunnah yang merupakan penjelas (bayanu taudhih,
tafsir) dan juga menambah apa yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit),
seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh
as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam hadits yang berbunyi : “ Laut itu suci airnya dan
halal bangkainya/ikan”. (HR Daruqutni)
Kedua : Menggabungkan hadits-hadits dalam satu pengertian (Jam'ul ahadits fi
maudhu'in wahid)
Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat satu
pengertian yg benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yg melewati kedua mata kaki di
neraka) yang bertentangan dengan hadits Abubakar ra yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW membolehkan kain Abubakar melewati mata kakinya, karena ia
tidak termasuk mereka yang sombong. Sehingga bisa didapatkan pengertian bahwa
ternyata yang diancam masuk neraka dengan isbalnya adalah jika dilakukan karena
57
kesombongan, setelah digabung dg hadits khuyala' (orang2 yg masuk neraka karena
melabuhkan kain karena sombong).
Atau hadits lain yang menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara
hadits lainnya menyatakan tidak batal. Ternyata setelah digabungkan ditemukan
bahwa dalam hadits pertama orang tersebut berbekam sambil mengghibbah dan
berdusta sehingga batalnya karena hal tersebut dan bukan karena berbekamnya.
Ketiga : Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi dhau'i asbab wal
mulabisat)
Seperti hadits Rasulullah SAW : “ kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia
kalian “ (HR Muslim). Hadits tersebut harus ditafsirkan berdasarkan sebabnya, yaitu
Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk
kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orangorang
tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk
kurma tersebut yang berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW :
Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Artinya dalam masalah sarana dan
teknologi teknis bukan masalah-masalah atau dasar-dasar yang telah ada hukumnya
dalam syariat Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.
Keempat : Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil
ahadits)
Jika terdapat dua hadits yang seolah bertentangan secara makna, maka hendaknya
dilakukan tiga upaya berikut :
1) Digabungkan (thariqatul jam'i) : Seperti dlm suatu hadits disebutkan Nabi SAW
meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits-hadits lain Nabi SAW
meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam
hadits pertama adalah sikap orang miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak
sombong).
2) Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap
bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan,
sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang sebelumnya. Seperti
hadits nikah Mut'ah (semacam kawin kontrak) yang banyak dipakai kaum Syi'ah,
memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam sebuah peperangan
tapi kemudian dihapus selama-lamanya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya
58
dan dampaknya. Atau hadits yg melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus
sendiri oleh Nabi SAW.
3) Dipilih mana yg lbh kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka
barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya
bisa juga keduanya shahih tapi yg satu lebih shahih dari yg lain, maka yg dipakai
yg lebih shahih tersebut).
Kelima : Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal
ushul la lil wasa'il)
Contohnya adalah sebagai berikut :
1) Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang
menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah,
dll. Ternyata ushul (konten asli) dari hadits tentang pakaian tersebut adalah
menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.
2) Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang secara makna
pokoknya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya.
Demikian pula berkuda, yang pokok mengendarai kendaraannya dan bukan
kudanya.
3) Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan),
ternyata yang pokok adalah metode shock terapy nya seperti dg akupunktur,
refleksi, dsb.
Kelima : Menegaskan apa yg ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu
alfazh al hadits).
Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang
dilalahnya atau makna yang ditunjukkan adalah jika untuk diagungkan, dipuja, atau
berupa benar-benar lukisan tiga dimensi (patung), karena ternyata gambar yg telah
dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW. (Dr.Daud
Rasyid – Materi Madah 1427 dengan beberapa perubahan)
59
SUMBER DAN BAHAN
Madah Tarbiyah 1427
Taisyir Mustholahul Hadits – Dr. Mahmud Mustofa Thohan
Mabahits fi Ulumil Hadits – Syaikh Manna’ul Qathan
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/component/content/article/17-fikihkeseharian/
1273-sholat-di-perjalanan
http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/sejarah-singkat-penulisan-danpembukuan-
hadits/
http://www.rasio.wordpress.com
http://kangsaviking.wordpress.com/hadist-dhoif/
http://www.eramuslim.com/ustadz/hds/8111173131-tingkatan-dan-jenishadits.
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-shahih/
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-ibrah/8937-kedudukan-as-sunah-dalamsyariat-
islam/
MODUL MATA KULIAH
ULUMUL HADITS
wakaf di jalan Allah / tidak untuk diperjualbelikan
semoga bermanfaat bagi dakwah dan umat
2
DAFTAR ISI
MATA KULIAH : ULUMUL HADITS
1. Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam………………………….. hal
2. Sejarah dan Perkembangan ilmu Hadits hal
3. Pengantar Mustholah Hadits hal
4. Hadits Shohih dan Permasalahannya hal
5. Hadits Hasan dan Permasalahannya ………………………………………………. Hal
6. Hadits Dhoif (1) …………………………………………. Hal
7. Hadits Dhoif (2) ……………………………………….. hal
8. Nasikh wal Mansukh …………………………………………………………….. hal
9. Rambu-rambu mengenal Sunnah ………………………………………….. hal
3
MATERI 1 :
SUNNAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAT ISLAM
A. PENGERTIAN AS-SUNNAH :
As-Sunnah secara etimologis berarti : ath-thoriiqoh wa siroh jalan dan perjalanan ,
sama saja apakah terpuji atau tercela. Dan bentuk jamak / pluralnya adalah : sunan
Pengertian as-sunnah dari dengan makan tersebut ini bisa kita lihat dalam beberapa
ayat dan hadits, diantaranya :
“ Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum
(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS
Al Ahzab 22)
Sementara secara istilah, As-Sunnah diartikan secara berbeda sesuai dengan
penekanan bidang ilmu masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) As-Sunnah menurut terminologi ahli fikh : Apa-apa yang jelas/tegas dilakukan
Nabi SAW tapi tidak bersifat wajib. Dan sunnah termasuk dalam lima jenis
hukum pembebanan, masing-masing : Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan
Mubah, pada kesempatan lainnya terkadang sunnah juga dianggap sebagai
lawan kata dari bid’ah.
b) As-Sunnah menurut ulama Ushulliyin : Apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW
selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan ( taqrir)
c) As-Sunnah menurut ulama hadits : Apa-apa yang didapatkan/ditemukan dari
Nabi SAW berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan, atau sifatnya atau
kisah hidupnya.
B. LEGALITAS AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Para ulama muslimin telah bersepakat bahwa apa-apa yang bersumber dari
Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, yang berkaitan
dengan masalah hukum, kepemimpinan dan peradilan,-yang diriwayatkan dengan
sanad shohih- adalah menjadi dasar hukum bagi kaum muslimin, sebagai rujukan
dalam pengambilan hukum oleh para mujtahid.
4
Maka As-Sunnah adalah pokok yang kedua dari sumber-sumber dalil syariat Islam.
Kedudukannya setelah Al-Quran. Legalitas As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
dikuatkan dengan dalil-dalil diantaranya sebagai berikut :
Pertama : Dari Al-Qur’anul Karim :
1) Allah SWT telah menegaskan perintah untuk mengikuti dan mentaati Rasulullah
SAW. Firman Allah SWT :
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah “ ( QS Al Hasyr7 ).
Firmannya yang lain : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya),2)
Allah SWT juga menegaskan larangan untuk ragu-ragu atas hukum yang
dikeluarkan Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT : “ Dan tidaklah patut bagi lakilaki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka “ ( QS al-Ahzab 36 )
Kedua : Perbuatan Shahabat
Para sahabat baik ketika Rasulullah SAW masih hidup ataupun setelah beliau wafat,
tetap menjadikan As-Sunnah sebagai dasar pengambilan hukum. Dan mereka tidak
membedakan hukum yang berasal dari Al-Quran maupun dari Rasulullah SAW. Hal
ini berdasarkan pemahaman mereka yang baik atas ayat : “ dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS an-Najm 3-4)
Ketiga : Dalil Aqly (Logika)
Tidak mungkin menjalankan kewajiban Agama hanya dengan berdasarkan pada
perintah Al-Quran yang sebagian besar bersifat general. Contoh perintah dalam Al-
Quran yang bersifat general,firman Allah SWT : “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat ( QS al Baqoroh 43)” , tentang masalah puasa : “ Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS AlBaqoroh 183). Begitu pula tentang
perintah haji : “ mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah( QS Ali Imron 97)
5
Perintah diatas baik sholat, zakat, puasa maupun haji sangat bersifat general, dan
tidak dapat dikerjakan kecuali dengan perincian teknisnya yang ada pada Sunnah.
Maka dalam As-Sunnah kita dapat mengetahui misalnya : waktu-waktu sholat,
jumlah rekaatnya, dan cara pelaksanaannya. Begitu pula dengan zakat, kadar
wajibnya, waktu pengeluarannya, dan harta-harta yang wajib dizakati. Begitu pula
pada shaum dan haji.
C. TINGKATAN AS-SUNNAH DIANTARA DALIL-DALIL SYAR’I LAINNYA.
Tingkatan As-Sunnah di dalam urutan dalil syar’I ada pada urutan kedua setelah Al-
Quran, hal ini dilandaskan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Bahwa Al-Quran adalah dalil yang bersifat qath’iy (kuat/final) karena
periwayatannya bersifat mutawatir.(diriwayatkan oleh banyak rawi dalam
setiap tingkatan) , sedangkan As-Sunnah sebagian besar adalah dalil dzhan
yang diriwayatkan secara ahad, tidak sampai derajat mutawatir.
2) Karena As-Sunnah adalah berfungsi sebagai bayan atau penjelas dari hukum
Al-Quran, maka As-Sunnah baru dianggap / dipakai setelah tidak ada sebuah
hukum yang jelas dalam Al-Qur’an tentang sebuah masalah.
3) Apa yang ditunjukkan dalam akhbar dan atsar, diantaranya hadits Muadz
saat diutus Rasulullah SAW ke Yaman : Ketika itu Rasulullah SAW bertanya
padanya : “ Dengan apa engkau berhukum ? “ , maka dijawab : “ dengan
Kitabullah “ , kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau
dapatkan ( dalam Kitabullah )”, maka dijawab : “ Dengan sunnah Rasulullah
SAW “, kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan (
dalam Sunnah ) ?”. Maka Muadz menjawab : “ aku akan berijtihad dengan
pikiranku “
D. HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QURAN
Pertama : As-Sunah sebagai penetap dan penguat hukum yang telah ada di dalam
Al-Quran. Maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan dua dalil; dalil
Al-Quran dan dalil penguat, As-Sunah. Hukum-hukum tersebut seperti perintah
untuk melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah,
berbuat baik terhadap perempuan, larangan menyekutukan Allah (syirik), bersaksi
palsu, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar, dan
6
perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh As-
Sunah. Yang keduanya digunakan sebagai dalil.
Kedua : As-Sunah sebagai perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal)
dari Al-Quran, sebagai pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham),
sebagai pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, dan memberi
pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran.
Ketiga : As-Sunah sebagi dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hukum.
Di dalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa ada di
dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah, bukan Al-
Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah, menolong orang
yang dianiaya, dan lain-lain. Di dalam bentuk larangan seperti hukum dilarangnya
bagi suami untuk berpoligami dengan mengumpulkan perempuan bersama bibi
perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu), hukum haramnya bersetubuh di
siang hari bulan Ramadhan, hukum haramnya memakan daging binatang buas yang
bertaring, dan lain-lain.
E. SEPUTAR INGKAR SUNNAH
Ada sebagian orang sejak jaman dulu hingga saat ini yang mencukupkan diri dengan
Al-Quran sebagai sumber hukum dan tidak menganggap as-sunnah sebagai sumber
hukum. Mereka berhujjah dengan ayat Al-Quran, diantaranya adalah firman Allah
SWT : “ “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu”
(QS Al Maidah ayat 3) dan juga firman-Nya : ““Kami turunkan kepadamu Alquran
untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS An-Nahl 89).
Mereka juga mengatakan bahwa apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW,
hanyalah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kaum muslimin, yang berijtihad
saja sesuai maslahah dan kondisi pada waktu tersebut, jadi tidak bisa menjadi
landasan hukum tersendiri.
Sesungguhnya fenomena ini sudah ada sejak jaman dahulu dan telah diprediksikan
oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda : "Sebentar lagi akan ada orang yang duduk
7
didipannya,kemudian dia berkatayang artinya :"Kalian harus berpegang dengan Al
Qur'an saja, perkara yang dihalalkan didalamnya kita halalkan dan yang diharamkan
kita haramkan", ketahuilah apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama dengan yang
diharamkan oleh Allah "(HR Abu Daud ).
Tuduhan dari paham ingkarus sunnah dan hujjah-hujjahnya sangat lemah dan bisa
dibantah dengan mudah. Salah satunya adalah dalam Al-Quran banyak dalil dan
perintah untuk mengikuti dan mengambil Rasulullah SAW sebagai rujukan. Artinya,
mereka yang tidak mau mentaati Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah
menentang perintah Al-Quran itu sendiri. Bantahan selanjutnya, secara logika
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tidak mungkin ajaran syariat
Islam bisa diimplementasikan dengan sempurna, kecuali setelah mengetahui
penjelasan teknisnya dari As-Sunnah. Wallahu a’lam.
8
MATERI 2 :
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS
A. PERHATIAN ULAMA ISLAM TERHADAP HADITS NABI
Umat Islam –khususnya para ulama- sejak dulu sangat mempunyai perhatian khusus
terhadap hadits-hadits nabi, baik secara periwayatan, hafalan maupun
pengkajiannya, sehingga hadits menjadi tetap terjaga sebagai sumber kedua dalam
sumber perundangan dan hukum Islam setelah Al-Quran. Setidaknya ada dorongan
yang membuat mereka melakukan hal tersebut.
Pertama : Motivasi Menjalankan Agama ( al-Baits ad-diiny)
Sudah sangat jelas bahwa hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Dimana
banyak sekali permasalahan-permasalahan kehidupan, baik ibadah maupun
muamalah yang membutuhkan hadits untuk menjawabnya, ketika tidak terdapat di
dalam Al-Quran. Karenanya, eksistensi kehidupan beragama kaum muslim tidak bisa
di pisahkan dengan keterjagaan dan kemurnian hadits-hadits nabi. Maka tidak heran
jika kemudian para ulama bersemangat dalam mengembangkan ilmu hadits.
Kedua : Motivasi Sejarah ( al-baaits at-tarikhy)
Umat Islam sebagaimana umat yang lainnya juga menghadapi gangguan dan
tantangan budaya /pemikiran dari pihak luar. Sehingga diperlukan penjagaan
kemurnian kekayaan pemikiran dan budayanya agar tidak hilang, punah atau
ternodai dengan budaya lainnya.Hadits nabi sebagai salah satu warisan kekayaan
pemikiran umat Islam harus senantiasa di jaga kemurniannya, maka kemudian
lahirlah kaidah-kaidah yang selanjutnya disebut ulumul hadits. Bukan rahasia pula,
bahwa salah satu sebab munculnya kaidah-kaidah tersebut juga karena sudah mulai
timbul banyak pemalsu hadits (wadhi' al hadits), yang sebagian besar membawa
unsur budaya luar.
B. PERHATIAN SHAHABAT DALAM MENJAGA HADITS
Para shahabat ra sebenarnya juga telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga
kemurnian hadits-hadits nabi saw, upaya ini kemudian yang menjadi tonggal awal
9
lahirnya ulumul hadits. Diantara usaha-usaha yang dilakukan para sahabat dalam
masalah ini antara lain :
Pertama : Meminimalisir periwayatan hadits dari Rasul SAW ( taqlil ar-riwayah 'an
rasulillah ) :
Para sahabat ra dahulu khawatir dengan banyaknya periwayatan hadits akan
menyebabkan mereka terjatuh dalam kesalahan atau kealpaan dalam sebuah hadits,
sehingga kesalahan tersebut dapat menyebabkan 'pendustaan / kebohongan' atas
nama Rasulullah SAW yang diancam sangat keras oleh Islam. Rasulullah SAW
bersabda : " Barang siapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka
tunggulah tempatnya di neraka " (HR Ahmad, Tirmidzi dan yang lainnya)
Selain sebab di atas, para sahabat juga khawatir dengan banyaknya periwayatan
hadits akan menyibukkan mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari Al-Quran.
Contoh bentuk riil yang dilakukan sahabat : Umar bin Khatab ra mengingkari siapa
saja yang meriwayatkan hadits terlalu banyak. Abu Hurairah ra , seorang sahabat
yang paling banyal meriwayatkan hadits , suatu ketika ditanya seseorang : " Apakah
engkau membacakan hadits pada jaman Umar persis seperti sekarang ini ? ". Maka
Abu Hurairah ra segera menjawab : " Seandainya aku membacakan hadits pada
jaman Umar seperti aku membacakan hadits kepada kalian saat ini (yaitu banyak
hadits), sungguh ia (Umar) pasti akan memukulku dengan tongkatnya ".
Contoh lain bentuk kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana
yang dilakukan oleh Anas bin Malik ra. Beliau setiap kali usai menyampaikan hadits
dari Rasulullah SAW, beliau segera mengatakan : “ au kama qoola ar-rasuul “ Atau
sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW. "
Kedua : Memastikan Kejelasan sebuah Riwayat ( at-tastsabbut fi ar-riwayah)
Para sahabat juga berhati-hati dalam menerima sebuah riwayat hadits yang belum
pernah di dengarnya. Sebagian mensyaratkan adanya kesaksian, sebagian lain
mensyaratkan untuk bersumpah.
Adalah Abu Bakar ra yang dikenal pertama kali berhati-hati dalam menerima sebuah
khobar. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab bahwa suatu ketika ada seorang nenek tua
yang mendatangi Abu Bakar dan meminta kejelasan tentang haknya dalam harta
waris. Abu Bakar kemudian menjawab : " Aku tidak mendapatkan bagianmu (hak
10
waris) di Kitabullah, begitu pula aku tidak tahu jika Rasulullah SAW pernah
menyebutkan soal itu ". Setelah itu Abu Bakar ra bertanya kepada sahabat lainnya,
maka berdirilah Mughiroh dan mengatakan : " Aku mendengar Rasulullah SAW
memberikan bagian baginya (nenek) seperenam ".Kemudian Abu Bakar bertanya : "
Apakah ada yang lain bersamamu (mendengarkannya) ? ". Maka kemudian
Muhammad bin Maslamah ikut bersaksi, dan Abu Bakar pun menerima dan
menjalankan aturan tersebut.
Ketiga : Mengembangkan Kritik muatan yang diriwayatkan ( naqdu al-marwiyat)
Caranya adalah dengan membandingkan apa yang diriwayatakan dengan apa yang
terkandung dalam Al-Quran. Seandainya bertentangan maka mereka
meninggalkannya. Salah satu contohnya adalah : Umar bin Khatab mengeluarkan
fatwa bahwa bagi seorang wanita yang ditalak ba'in tetap mendapat hak nafkah dan
tempat tinggal. Maka kemudian datang Fatimah binti Qais yang meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengatakan kepadanya dalam masalah ini,
yaitu tidak ada lagi hak nafkah dan tidak juga tempat tinggal. Mendengar hal
tersebut Umar mengatakan : " Kita tidak akan meninggalkan Kitabullah karena
perkataan seorang perempuan, mungkin saja ia hafal atau mungkin juga telah lupa ".
Yang dimaksud Umar tentu adalah ayat-ayat sebagai berikut : "serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang" (QS at Tholaq 1), dan juga firman Allah SWY : “Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS at-
Tholaq: 6)
Memang masalah ini dalam pembahasan fiqh memang terdapat perbedaan di
antara ulama. Kisah tersebut ditampilkan sebagai salah satu contoh upaya kritik
muatan riwayat yang dilakukan pada masa sahabat.
C. PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perbedaan antara Ali bin Abi Tholib dan
Muawiyah bin Abu Sufyan, berkembanglah paham fanatisme pada masing-masing
pihak. Mereka membela pemimpinnya dengan banyak cara. Ada yang mentakwilkan
11
ayat Al-Quran, memaksakan penafsiran menurut keinginannya, dan ada pula yang
melakukan hal yang sama terhadap as-Sunnah. Tidak berhenti begitu saja, mereka
mulai memalsukan hadits untuk kepentingan fanatismenya atau membela
golongannya.
Contohnya, di pihak Ali beredar sebuah hadits palsu : " Barang siapa yang ingin
melihat ilmunya Adam, ketakwaan Nuh, kelembutan Ibrohim, kekuatan Musa,dan
ibadahnya Isa, maka lihatlah pada Ali ". Begitu pula di pihak Muawiyah, diriwayatkan
sebuah hadits palsu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : " Orang yang
terpercaya (al-umana') itu ada tiga : Aku (Rasulullah), Jibril dan Muawiyah ! ".
Maka kemudian berkembanglah pemalsuan hadits hingga para ulama mulai
berusaha mencegahnya. Setidaknya mulai dari akhir masa sahabat dan awal-awal
masa tabi'in, mereka mulai memperhatikan dan mengkaji tentang isnad hadits, dan
keadaan para perawinya.
Muhammad bin Sirin berkata : Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang
isnad (perawi-sandaran hadits), kemudian setelah terjadi fitnah ( antara Ali dan
Muawiyah-red) maka mereka mulai mengatakan ketika mendengar hadits : "
Sebutkan pada kami siapa saja sumber riwayatmu ", ketika dilihat para perawi dari
ahli sunnah maka hadits tersebut diambil. Sebaliknya, jika para perawi berasalah
dari ahli bid'ah, maka haditsnya di tolak.
D. PENULISAN HADITS
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan
penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada
keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat
duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
12
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang
mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H)
yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah” . Demikian pula dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih
belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai
akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama
Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di
daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau
menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis haditshadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits
ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang
ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah
wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. Menurut pendapat yang populer di
kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta
membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di
kota-kota besar yang lain.Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan
disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah
dan lain sebagainya.
E. PEMBAGIAN UMUM ILMU HADITS
Dimulailah kemudian masa perkembangan ilmu hadits dengan berbagai macam
bidang pembahasannya, seperti ilmu tarikh ar-ruwwah ( sejarah para perawi) , ilmu
jarh wa ta'dil, ilmu gharib al hadits, ilmu mukhtalaf al-hadits, ilmu takhriij, serta tidak
13
lupa ilmu mustholahul hadits. Namun secara umum, ilmu hadits dari bidang
pembahasaanya bisa dibagi menjadi dua bagian besar :
Pertama : Ilmu hadits riwayah
Adalah ilmu yang membahas proses pemindahan/pencatatan apa-apa yang
disandarkan pada Rasulullah SAW, baik yang berupa ucapan, perbuatan, ketetapan
atau sifat akhlak dan sifat lahiriah beliau. Sehingga fokus pembahasan adalah haditshadits
Rasulullah SAW itu sendiri dan proses perpindahannya. Manfaat ilmu ini
adalah : menjaga sunnah dan memastikannya terbebas dari kesalahan dalam proses
perpindahannya.
Kedua : Ilmu Hadits Diroyah
Yaitu kumpulan kaidah-kaidah dan permasalahan yang dengannya bisa diketahui
kondisi/keadaan para perawi (rowi) dan yang diriwayatkannya (marwa), dari segi
apakah bisa diterima atau tidak. Yang dimaksud dengan keadaan perawi adalah :
Mengetahui kondisinya secara objektif baik ataupun kurang baik, dan apa-apa yang
berhubungan dengan proses bagaimana dia meriwayatkan hadits. Fokus
pembahasan ilmu ini pada sanad dan matan hadits, serta kondisi yang melingkupi
keduanya. Manfaat utama dari pembahasan ilmu ini adalah mengetahui sebuah
hadits bisa diterima atau ditolak.
Pada perkembangan selanjutnya, Ilmu Hadits Diroyah juga biasa disebut dengan
Ilmu Hadits saja, atau juga dengan sebutan Ilmu Mustholahul Hadits.
14
MATERI 3 :
PENGANTAR ILMU MUSTHOLAHUL HADITS
A. PENGERTIAN AL-HADITS
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup
sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari
makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah,
yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik
setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz
hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir
beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli
ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits,
seperti urusan pakaian.
Contoh Jenis dan ragam Hadits :
1. Hadits yang berupa perkataan ( qaul ), Contoh : Rasulullah SAW bersabda : “
sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya” (HR Bukhori Muslim)
2. Hadits yang berupa perbuatan ( fi’il) : biasanya berupa penggambaran
sahabat tentang perbuatan Rasulullah, seperti : wudhu Rasulullah, shalat
beliau, cara haji, dll.
3. Ketetapan ( taqrir ), yaitu diam atau persetujuan Rasulullah SAW saat melihat
atau mendengar sesuatu dikerjakan oleh para sahabat. diantaranya hadits
yang diriwayatkan dari Abu Said AlKhudry, ia berkata : Dua orang keluar
bepergian, kemudian datang waktu sholat dan tidak ada air pada mereka,
maka kemudian mereka bertayammum dengan tanah dan sholat. Kemudian
15
(setelah berjalan lagi) mereka menemukan air dan masih dalam waktu
sholat. Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya,
sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW
dan menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang
tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau mendapatkan sunnah, dan
sholatmu sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “
bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud & an-Nasa’i)
4. Sifat atau Siroh, berupa penggambaran sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara
fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari Jabir bin Abdullah ia berkata :
Rasulullah SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia
senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi )
B. PERBEDAAN HADITS DENGAN AL-KHOBAR, AL-ATSAR
Pertama : Al-Khobar
Al-Khobar secara bahasa berarti : an-naba’ atau berita. Secara istilah terdapat tiga
pendapat, masing-masing ; ada yang menyatakan khobar sama persis dengan hadits
; ada yang membedakan dengan menyebutkan bahwa hadits khusus berasal dari
Rasulullah SAW, sedangkan khobar yang berasal dari shahabat dan tabi’in ; ada pula
yang menyatakan bahwa khobar lebih umum dari hadits, yaitu bisa berasal dari
Rasulullah dan selain Rasulullah SAW.
Kedua : Al-Atsar
Al-Atsar secara bahasa berarti : baqiyyatu asy-syai’ atau sisa/bekas dari sesuatu.
Sedangkan secara istilah ada dua pendapat, masing-masing ; ada yang menyatakan
artinya sama persis dengan hadits ; ada pula yang menyatakan bahwa atsar adalah
apa yang disandarkan dari sahabat dan tabi’in baik berupa ucapan maupun
perbuatan.
C. HADITS QUDSY DAN PERBEDAANNYA DENGAN AL-QURAN & HADITS NABI
Pengertian & Bentuk Hadits Qudsy :
Makna Qudsy secara bahasa adalah bersandar pada Al-Quds atau At-Tuhr ( suci ),
sandaran ini menunjukkan pada ta’dzhim atau pengagungan, atau bersandar pada
16
Dzat Allah SWT al-Muqoddasah ( yang suci ) . Hadits Qudsy secara istilah : Apa-apa
yang disandarkan Nabi SAW pada Allah SWT
Format periwayatan Hadits Qudsy terbagi dalam dua bentuk :
Pertama : Rasulullah SAW bersabda , dari apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya Azza
wa jalla . Contoh :
Dari Abu Dzar ra, dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Allah tabaaroka wa ta’ala,
Dia berkata : “ Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku
menjadikannya haram diantara kamu, maka janganlah saling menzhalimi … “ ( HR
Muslim )
Kedua : Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : Contoh :
Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : “
Aku berada dalam dugaan (dzhan) hamba-Ku pada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia
menyebut-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, maka Aku akan Menyebutnya
dalam diri-Ku, dan jika ia menyebut-Ku dalam kumpulan (berjamaah), maka Aku
akan Menyebutnya dengan kumpulan yang lebih baik dari itu “ ( HR Bukhori )
Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy :
a) Al-Quran lafadz dan maknanya dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsy
maknanya dari Allah SWT, sedangkan lafadnya dari Nabi SAW
b) Al-Quran, tilawah atau membacanya adalah bentuk ibadah akan tetapi Hadits
Qudsy tidak.
c) Al-Quran disyaratkan dalam periwayatannya harus tawatur, sedangkan hadits
qudsy tidak disyaratkan.
d) Al-Quran bersifat mukjizat, sedangkan hadits Qusdy sebagaimana hadits yang
lainnya
Perbedaan antara Hadits Qudsy dengan Hadits Nabawy :
Jelas bahwa hadits nabawi disandarkan pada Nabi SAW dan dikisahkan dari beliau,
sedangkan hadits Qudsy nisbahnya kepada Allah SWT, dan Rasulullah SAW yang
mengkisahkan dan meriwayatkan dari-Nya. Jumlah hadits Qudsy sedikit .
D. PENGERTIAN DAN ISTILAH DASAR MUSTHOLAHUL HADITS
17
Pengertian, Objek dan Fungsi
• Yang dimaksud dengan Ilmu Mustholahul Hadits adalah : Ilmu tentang pokokpokok
dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan
sebuah hadits dari sisi diterima atau tidaknya.
• Objek pembahasannya adalah : Sanad (jalan hadits) dan matan (lafadz hadits)
dari sisi diterima atau tertolaknya.
• Fungsi dari ilmu ini adalah : membedakan hadits yang shohih dengan yang cacat
dari hadits-hadits yang ada.
Beberapa Istilah Dasar Mustholahul Hadits
1) Sanad , secara bahasa : bersandar, menyandarkan . Secara istilah : jalan yang
menyampaikan matan, silsilah orang-orang yang menyampaikan matan. Isnad :
mengangkat hadits pada orang yg menyampaikan atau sama juga dengan sanad
2) Al-Musnad : secara etimologis adalah : Siapa yang disandarkan sesuatu
padanya. Secara istilah bisa berarti beberapa makna, antara lain :
o Setiap kitab yang berisi kumpulan riwayat dari setiap sahabat, mis : Musnad
Abu Bakar, Ustman dst.
o Hadits Marfu' yang bersambung sanadnya.
o Terkadang juga berarti "sanad" itu sendiri.
3) Al-Matan : Secara bahasa : bagian bumi yang kokoh dan tinggi, adapun secara
istilah : adalah apa-apa yang ada di akhir sanad (jalan hadits) berupa
ucapan/perkataan
Tingkatan Ahli Hadits
1) Al-Muhaddits : adalah orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits baik
secara diroyah maupun riwayah, dan juga mengetahui banyak riwayat dan
keadaan perawinya.
2) Al-Hafidz : ada yang menyamakan dengan muhaddits, ada juga yang
menganggap derajatnya lebih tinggi dari muhaddits, karena apa yang ia ketahui
dalam setiap thobaqoh (tingkatan perawi hadits) lebih banyak daripada yang ia
tidak tahu.
3) Al-Hakim : Bagi sebagian ulama, ia adalah yang menguasai ilmu tentang semua
hadits, sehingga dikatakan tidak terlewat darinya kecuali sejumlah kecil hadits.
E. PEMBAGIAN HADITS MENURUT JUMLAH PERAWINYA
18
Hadits menurut proses periwayatan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
mutawattir dan ahad. Keduanya mempunyai pembahasan tersendiri sebagaimana
berikut :
PERTAMA : HADITS MUTAWATIR
Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabbi’ yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang
dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan."
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan
itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari
peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak
merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri
oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi
yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2) Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
• Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
• Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
• Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang
19
mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah
200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
• Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.
Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah: "Wahai nabi cukuplah Allah dan
orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
Tarjih dari Mahmud Muhammad Thohan ( Taysir Mustholah hadits) adalah
jumlah sepuluh perawi.
3) Jumlah tawattur ada baik dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syaratsyarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat
bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu
Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar.
Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan
hadits.
Hukum Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri dan yakin, yakni keharusan untuk
menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia
membawa keyakinan yang qath'i (pasti) tanpa perlu diragukan, bahkan tanpa perlu
melihat kembali pada kondisi perawinya yang demikian banyak.
Pembagian Hadits Mutawatir
Mutawattir terbagi menjadi dua: Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir
maknanya saja.
1) Muttawattir lafadzy : adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz.
Misalnya sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin
menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
20
2) Muttawattir makna :adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun
lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya
hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf, hadits tentang
membasuh atas khuf, mengangkat kedua tangan dalam doa, tentang al-Quran
diturunkan dalam tujuh huruf, dst.
KEDUA : HADITS AHAD
Kata Aahad secara bahasa adalah bentuk jamak dari ‘ahad’ yang bermakna ‘satu’.
Maka khobar wahid adalah yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Adapun
pengertian Khobarul Ahad secara istilah adalah : hadits yang tidak terkumpul
padanya syarat mutawattir. Hadits Ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :Hadits
Masyhur, Aziz dan Gharib.
Hadits Masyhur :
• Secara istilah, hadits masyhur adalah : hadits yang diriwayatkan minimal tiga
perawi dalam setiap tingkatannya selama belum mencapai jumlah tawattur.
Contoh hadits Masyhur adalah, diriwayatkan dari Amr Ibn Ash, Rasulullah SAW
bersabda :" Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari
hambanya, akan tetapi dengan mengangkat para ulama (meninggal), hingga
ketika tidak tersisa seorang alim, orang-orang menjadikan pemimpin mereka
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa
menggunakan ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan" (HR Bukhori dan
Muslim)
• Selain definisi di atas, ada juga pengertian hadits masyhur yang tanpa terikat
dengan jumlah perawinya. Yaitu hadits yang 'masyhur' atau benar-benar dikenal
secara umum, baik pakar hadits, fiqh maupun orang awam.
Contoh : " Hal yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq
(perceraian) " (HR Al-Hakim)
• Hadits Masyhur tidak bisa langsung dihukumi sebagai hadits shohih atau tidak,
karena di dalamnya ada yang termasuk kategori shohih, hasan, dhoif atau
bahkan maudhu’.
Hadits 'Aziz :
21
yaitu hadits yang diriwayatkan minimal dua perawi dalam semua tingkatannya .
Contoh hadits aziz, Rasulullah SAW bersabda dari Anas bin Malik:
" Tidak (sempurna) keimanan seorang dari kalian, hingga aku lebih ia cintai dari
orangtuanya, anaknya, dan orang lain semuanya " ( HR Bukhori dan Muslim)
Hadits Ghorib :
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi saja, baik di asli sanadnya (
shohabat) yang disebut dengan Gharib Mutlaq, ataupun di tengah dan akhir
tingkatan sanadnya yang disebut Ghorib Nisby.
• Contoh Gharib Mutlaq adalah hadits tentang Niat : Innamal a'maalu
binniyat..dst, yang diriwayatkan sendirian oleh Umar bin Khatab ra pada asli
sanadnya.
• Contoh Gharib nisby adalah hadits Malik dari Zuhri dari Anas ra : bahwa
Rasulullah SAW memasuki Mekkah dan di atas kepalanya ada mighfar
(semacam topi besi) (HR Bukhori Muslim). Dalam hadits ini Malik sendirian
menerima dari Az-Zuhri.
22
MATERI 4 :
HADIST SHOHIH DAN PEMBAHASANNYA
Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya
terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari
keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan
demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
1) Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
2) Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen)
3) Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
4) Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
A. PENGERTIAN SHOHIH
Secara bahasa (etimologi), kata shohih (sehat) adalah antonim dari kata saqiim
(sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya
(haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya,
maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanadnya
melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat
semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur sanad), dengan tanpa adanya syudzûdz
(kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Penjelasan Definisi & Syarat Hadits Shohih
1) Ittisolu sanad : Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat
di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
2) Adalatu rowy :Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan
juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
3) Ad-Dlobit : Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan
pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)
23
4) Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori
Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih Tsiqah darinya)
5) Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl
(yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar,
tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya
kelihatan terhindar darinya.
B. CONTOH HADIST SHOHIH
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya
kami berikan sebuah contoh untuk itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-
Bukhâriy, dia berkata:
‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan
kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari
ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam
telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a) Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya
mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ‘an (dari) oleh Malik,
Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya
karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai
Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
b) Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut
data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-
Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm
Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka
berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
c) Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih
kuat darinya.
24
d) Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
C. HUKUM HADITS SHOHIH
Wajib mengamalkan hadits shohih menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan
para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan
demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan
bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya.
D. KITAB YANG MENULISKAN HADITS SHOHIH
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-
Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih
setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.
Antara Shohih Bukhori dan Muslim
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling
banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy
paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di
dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat
pada kitab Shahîh Muslim. Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam
sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian
hadits-hadits al-Bukhariy. Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang
menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar
adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.
Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam
kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuan
mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang
menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati
atasnya.”
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka
dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa
banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al-
Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang
25
aku tinggalkan lebih banyak.” Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus
ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Jumlah Hadits dalam Shohih Bukhori Muslim
• Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
• Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.
E. KITAB SHOHIH YANG LAINNYA
Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti
Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan,
Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain. Hanya dengan keberadaan
hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas
keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan
hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan
persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau
persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum
mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun
tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut
dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga
memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal
sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan)
di dalam penilaian keshahihan hadits.
Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap
kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi
telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap
26
kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini
masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh.
Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun
per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm
Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di
dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama
Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H
dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan
bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan
hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)
Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena
penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali.
Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu
keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.
F. TINGKATAN KESHAHIHAN SEBUAH HADITS
Jalur Periwayatan /Sanad yang Terbaik
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan
secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan
keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara
sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat
keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad
tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian,
sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap
paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat
yang menurutnya lebih kuat.
27
Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling
shahih adalah:
a) Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
b) Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan
yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
c) Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini
adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
d) Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
e) Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari
Imam al-Bukhariy.
Tingkatan Hadits Shohih
Pada bagian yang sebelumnya telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama
telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih
menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratanpersyaratan
lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki
beberapa tingkatan:
a) Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang
paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
b) Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl
(rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada
sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari
Anas.
c) Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayatperiwayat
yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling
rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti
riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Tujuh Tingkatan Hadits Shohih
1) Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini
tingkatan paling tinggi)
2) Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
3) Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
28
4) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan
keduanya tidak mengeluarkannya
5) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia
tidak mengeluarkannya
6) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak
mengeluarkannya
7) Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah
dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits
tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
G. ISTILAH TERTENTU DALAM HADITS SHOHIH
Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh”
Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat
keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak
berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang
Tsiqah keliru atau lupa.
Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa
semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya,
namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja
seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar.
Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-
Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan
kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam
makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk
menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)
Sementara itu, pendapat lain dari Ibnu Taimiyah al-Jad, khususnya dalam kitab
haditsnya “ Muntaqo al-akhbaar min ahadiitsu sayyid al-akhyaar”, ia menyebutkan
istilah “muttafaq” alaihi untuk hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim
dan Ahmad. Sementara untuk yang hanya dikeluarkan oleh imam bukhori dan
29
Muslim, beliau menyebutkan istilah “ akhrojaahu “ ( dikeluarkan oleh mereka
berdua)
H. HADITS SHOHIH LIGHOIRIHI
Pengertian
Hadist Shohih lighoirihi adalah Hadist Hasan Li Dzatihi yang mempunyai riwayat dari
jalan lain yang setara dengannya atau bahkan lebih kuat darinya. Dinamakan shohih
lighoirihi (karena yang lainnya), karena keshahihan disini tidak muncul dari sanadnya
tersendiri, tetapi karena bergabungnya sanad atau riwayat lain yang menguatkan
hadits tersebut.
Tingkatan Hadits Shohih Lighoirihi
Tingkatannya termasuk tingkatan hadits hasan yang paling tinggi, tetapi dibawah
shohih lidzatihi. Dan termasuk kategori khobaru maqbul , yaitu kabar atau
periwayatan hadits yang diterima.
Contoh Hadits Shohih Lighoirihi
Hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi
Hurairoh bahwa Nabi SW bersabda :
Tingkatan hadits di atas masuk pada kategori hasan lighorihi. Menurut Ibnu Sholah :
karena Muhammad bin Amr bin al-Qomah sebenarnya dikenal sebagai perawi yang
jujur dan amanah, namun ia tidak termasuk mereka yang kuat hafalan. Sehingga
sebagian mendhaifkannya karena termasuk orang yang lemah dalam hafalannya,
namun sebagian lain menganggapnya tsiqoh karena kejujuran dan kemuliannya.
Sehingga asli hadits ini masuk kategori hasan li dzatihi.
Namun kemudian diketahui bahwa hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh
al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari dan yang lainnya, maka ketakutan lemahnya
hafalan Muhammad bin Amr dalam hadits ini menjadi hilang, dan terangkat
tingkatannya menjadi shohih lighoirihi.
30
[Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân- terjemahan oleh Abu Al
Jauzaa]
31
MATERI 5 :
HADIST HASAN DAN PEMBAHASANNYA
A. PENGERTIAN HADITS HASAN
Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti
al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits
hasan sebagai berikut,
a) Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat,
para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh
banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
b) At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam
sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula
melalui jalan lain.
c) Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya
bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.
Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang
diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak
ada syudzudz dan illat.
B. SYARAT HADITS HASAN
Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun
tingkat kedlobitanya (kekuatan hafalan) berbeda.
a) Sanadnya bersambung,
b) Perawinya adil, ,
c) Dlobith, lebih rendah dari hadits shahih
d) Tidak ada illat,
e) Tidak ada syadz,
Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya)
dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain). Apabila hanya disebut
“Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan
32
seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya
muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah
mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilanya sedikit
di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya. Hadits hasan lighairihi
adalah hadits dhoif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada
menguatkan sanad yang dhoif tersebut.
C. HUKUM HADITS HASAN
Hadits Hasan bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih,
meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai
hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’
ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar
mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap
berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.
D. CONTOH HADITS HASAN
Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata: “Telah bercerita kepada kami Qutaibah,
telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni,
dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku
berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda:
“Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali
Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’I yang masuk dalam kategori hasanul hadits, maka
turunlah tingkatan dari shohih menjadi hadits hasan.
E. ISTILAH DALAM HADITS HASAN
Tingkatan dari Pernyataan: Hadits Shahih Isnad atau Hasan Isnad.
Pernyataan ahli hadits: ‘Hadits ini shahih isnad’ berbeda maknanya dengan
pernyataan ‘ini hadits shahih’. Begitu pula halnya dengan pernyataan mereka:
‘Hadits ini hasan isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits hasan’.
33
Pernyataan (hadits ini shahih isnad atau hadits ini hasan isnad) karena sanadnya
memang shahih atau hasan tanpa memperhatikan matan, syudzudz maupun adanya
illat. Apabila seorang ahli hadits mengatakan: ‘Hadits ini shahih’, itu berarti hadits
tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yang lima. Lain lagi jika ia
mengatakan: ‘Hadits ini shahih isnad’, itu berarti hadits tersebut memenuhi tiga
syarat keshahihan saja, yaitu sanadnya bersambung, rawinya adil dan dlobith.
Adapun tidak adanya syudzudz dan illat, berarti hadits tersebut tidak bisa
memenuhinya. Karena itu tidak bisa ditetapkan sebagai hadits shahih ataupun
hasan. Meski demikian, apabila seorang hafidh mu’tamad (dalam hadits) meringkas
penyataan dengan: ‘Hadits ini shahih isnad’, sementara ia tidak menyebutkan
adanya illat, maka berarti matannya juga shahih. Sebab, pada dasarnya hadits
tersebut tidak memiliki illat maupun syudzudz.
Arti Hadits Hasan Shahih
Kenyataan ungkapan seperti ini amat sangat sulit, sebab hadits hasan itu derajatnya
lebih rendah dari hadits shahih. Maka, bagaimana menggabungkan keduanya
sementara tingkatan keduanya berbeda?. Para ulama’ telah menjawab maksud dari
pernyataan Tirmidzi dengan jawaban yang bermacam-macam. Yang terbaik adalah
pernyataannya al-Hafidh Ibnu Hajar yang disetujui oleh as-Suyuthi, ringkasannya
sebagai berikut :
a) Jika haditsnya mempunyai dua buah sanad atau lebih, maka berarti hadits
tersebut adalah hasan menurut shahih satu sanad, dan shahih menurut sanad
lainnya.
b) Jika haditsnya mempunyai satu sanad, maka berarti hadits tersebut adalah
hasan menurut satu kelompok, dan shahih menurut kelompok lainnya.
Jadi, seakan-akan orang yang mengatakan hal itu menunjukkan adanya perbedaan
dikalangan ulama’ mengenai status (hukum) hadits tersebut, atau tidak memperkuat
status (hukum) hadits tersebut (apakah shahih ataukah hasan).
F. KITAB-KITAB YANG BANYAK DITEMUKAN HADITS HASAN
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang
memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits
Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab
34
yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling
masyhur adalah:
1) Kitab Jâmi at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy.
Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-
Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya
dan orang yang paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan
catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat
ungkapan beliau, Hasan Shohih, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu
harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq
(dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript)
yang dapat dipercaya.
2) Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di
dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya
menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di
dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya
sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka
berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak
beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang
menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3) Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara
tertulis di dalam kitabnya ini.
G. HASAN LIGHOIRIHI
Pengertian
Hadits Hasan lighoiri adalah hadist dhoif yang mempunyai banyak jalan periwayatan,
dan sebab kedhaifan hadits tersebut bukan karena kefasiqan perawinya atau
kedustaannya. Dengan demikian, dari pengertian di atas, kita bisa ambil kesimpulan
bahwa hadits dhoif bisa naik tingkatannya menjadi Hasan lighoirihi dengan dua
syarat :
1) Diriwayatakan dari satu atau lebih jalan periwayatan lain, yang minimal jalan
tersebut setara dengannya atau lebih kuat kualitasnya.
2) Sebab kedhaifan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawinya,
atau terputus sanadnya, atau adanya status jahalah (tidak terkenal )pada
35
perawinya. Sehingga bukan karena kefasiqan perawi atau dikenal karena
kedustaannya.
Tingkatan dan Hukum Hadits Hasan Lighoirihi
Tingkatan hadits ini adalah dibawah hasan li dzatihi, sehingga jika ada pertentangan
harus didahulukan hadits hasan. Hadits hasan lighoiri termasuk kategori hadits
maqbul yang layak untuk dijadikkan hujjah dalam beramal.
Contoh hadits hasan lighoirihi
Yaitu yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau, dari jalan Syu’bah
dari Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Robi’ dari ayahnya, bahwa ada
seorang perempuan dari bani Fazaroh yang menikah dengan mahar sepasang
sandal. Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepadanya : “ Apakah engkau ridho
terhadap dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal ini ? “ Perempuan tadi
menjawab : “ Ya “. Maka kemudian Rasulullah SAW membolehkannya.
Di dalam sanad di atas ada nama Ashim bin Ubaidillah yang dikenal sebagai perawi
dhaif karena hafalannya yang buruk, namun Tirmidzi menghasankan karena
periwayatannya yang tidak hanya pada satu jalan saja.
(Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân,)
36
MATERI 6 :
SEPUTAR HADIST DHOIF
Setelah kita mempelajari tentang pembagian berita/ khobar yang maqbul (diterima)
atau layak dijadikan hujjah dan dalil, maka pembahasan kali ini adalah mengenai
khobar mardud atau riwayat hadits yang tertolak atau tidak bisa diterima sebagai
hujjah. Para ulama membagi khobar mardud ini dengan pembagian yang begitu
banyak, bahkan hingga mencapai empat puluh macam, dimana setiap macamnya
diberikan istilah khusus yang membedakan dengan yang lainnya, namun ada juga
yang tidak diberikan istilah secara khusus, dan diberikan istilah umum yaitu ‘dhoif’
saja.
Sebuah hadits masuk dalam kategori tertolak disebabkan oleh banyak hal, namun
umumnya bisa dikategorikan dalam dua sebab utama, masing-masing :
1) Adanya permasalahan pada sanad ( riwayat ), ada yang terputus atau hilang dan
semacamnya
2) Adanya tuduhan pada perawinya, bisa karena sisi hafalannya ( ad-dhobt) atau
juga karena sisi kepribadian dan ketakwaan ( ‘adalah)
Setiap sebab diatas kemudian menurunkan ragam macam hadits dhoif yang akan
dibahas lebih khusus dalam kesempatan materi berikutnya. Untuk pembahasan
awal, kita akan mengkaji seputar hadits dhoif secara umum.
A. PENGERTIAN HADITS DHOIF
Secara bahasa dhoif adalah lemah atau lawan kata dari qowiiy (kuat). Lemah disini
adalah maknawi bukan lemah dalam arti fisik. Secara istilah, hadits dhoif adalah
yang tidak mampu mengumpulkan sifat-sifat atau memenuhi syarat-syarat hadits
hasan.
Kelemahan hadits dhoif pun bertingkat-tingkat bergantung pada kelemahan para
perawinya, atau keburukan hafalannya, sebagaimana pula hadits shohih yang juga
mempunyai tingkatan. Maka kemudian dikenal penamaan yang beragam untuk
hadits dhoif , seperti : dhoif jiddan, munkar, wahy, atau yang paling buruk jenisnya
adalah maudhu’.
37
B. TINGKATAN SANAD HADITS DHOIF
Sebagaimana hadits shohih yang mempunyai tingkat dan kekuatan sanad yang
berbeda, sehingga ada yang disebut dengan asohhul asanid (sanad yang terbaik),
maka para ulama pun menyebutkan dalam pembahasan hadits dhoif apa yang
disebut dengan sanad yang terlemah atau “auha al asanid”. Diantara contoh dari
sanad (jalur periwayatan) hadits dhoif antara lain :
a) Dari jalur Abu Bakar As-Shiddiq : “ Shidqoh bin Musa ad-daqiqiy dari Farqod As-
Subhy dari Murroh At-Thiib dari Abu Bakar “
b) Dari jalur Ulama Syam : Muhammad bin Qois dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin
Yazid dari Qosim dari Abi Umamah “
c) Dari Jalur Ibnu Abbas : As-Suudy As-Shogir Muhammad bin Marwan dari al-
Kalby dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas.
C. CONTOH HADITS DHOIF
Salah satu contoh hadits dhoif adalah riwayat yang berbunyi :
" Barang siapa sholat enam rekaat setelah maghrib, dan tidak berbicara buruk
diantara itu semua, maka seimbang dengan ibadah dua belas tahun " (HR Tirmidzi) .
Hadits diatas diriwayatkan oleh Umar bin Rosyid dari Yahya bin Abi Bakar dari Abu
Salamh dari Abu Huroiroh. Tentang nama perawi Umar bin Rosyid di atas, Imam
Ahmad, Ad-Daruqutni mengatakan : dia dhoif. Imam Ahmad menambahkan
tentangnya : hadistnya tidak bernilai sedikitpun. Tirmidzi mengomentari hadits
tersebut : Ini Hadits Gharib kami tidak mengetahuinya kecuali melalui jalan Umar,
sementara saya mendengar Bukhori mengatakan tentangnya bahwa Umar : dia
munkarul hadits.
D. HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHOIF
Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif
dalam bidang aqidah (keyakinan) dan hukum halal harom. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana
berikut :
38
1) Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal) : Yaitu hadits-hadits yang
menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah
ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i,
juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa
besar.
2) At-Targhiib (Memotivasi) : Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian
semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3) At-Tarhiib (Menakut-nakuti) : Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman
Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu
perbuatan.
4) Al-Qoshos : Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5) Do’a Dan Dzikir : Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Dalam menyikapi permasalahan beramal dengan hadits dhoif , pendapat yang ada
terbagi menjadi tiga , masing-masing :
Pendapat Pertama : Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu
Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan
hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul
a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi SAW, perkataan/perbuatan yang
tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau. Sebagaimana peringatan dari beliau dalam
masalah ini : “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu
bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.”
(HR. Muslim) dan hadits lain : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Pendapat Kedua : Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits
dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul
a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang
hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi
memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan
hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya
telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
39
Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar
memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib
dengan tiga syarat berikut:
1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak
diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau
yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah
termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang
bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama
sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita
mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak
mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat Ketiga : Diriwayatkan dari sebagian besar fuqoha’ yaitu kebolehan
beramal dengan hadits dhoif secara mutlak, jika tidak ditemukan hadits selainnya
dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah,
Syafi’I, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini
bisa dipahami karena menurut beliau pembagian hadits adalah Shohih dan Dhoif
saja, sehingga sangat memungkinkan yang dimaksud imam Ahmad di sini adalah
hadits dhoif yang bernilai hasan.
E. KITAB YANG KEMUNGKINAN BANYAK TERDAPAT HADITS DHOIF
Berikut kitab-kitab yang di dalamnya diperkirakan berisi banyak hadits dhoif, antara
lain :
1) Tiga Mu’jam Thobroni baik yang al-kabiir, al-ausath, maupun yang as-shogiir
2) Kitab “ afrood “ yang disusun oleh imam Daruquthni
3) Kitab-kitab susunan Al-Khotib al-Baghdadiy
40
MATERI 7 :
RAGAM MACAM HADITS DHOIF
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa hadits dhoif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat shohih dan hasan. Secara umum Hadits dhoif dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar : yaitu dhoif karena suqut fi isnad ( ada
sanad yang gugur atau tidak bersambung), dan juga bagian yang disebabkan karena
at-tho’n fi rowy ( tuduhan pada perawinya). Berikut pembahasan singkat dan contoh
sederhana dari ragam hadits dhoif tersebut.
A. HADITS DHOIF YANG DISEBABKAN SANADNYA TERPUTUS
Hadits Dhaif yang masuk kategori jenis ini di bagi lagi menjadi : Hadits Muallaq,
Muaddhol, Mursal dan Munqoti’, dan Mudallas.
1) HADITS MUALLAQ
Pengertian :
Yaitu hadits yang pada permulaan sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi
secara berurutan. Yang dimaksud permulaan sanad ini adalah syaikh dari perawi
hadits yang menuliskan haditsnya tersebut. Termasuk dalam kategori ini yaitu yang
membuang semua sanad, lalu mengatakan langsung Rasulullah SAW bersabda : ….. .
Terkadang ada juga yang membuang sanad selain Sahabat.
Contoh hadits mualaq :
Yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam muqoddimah sebuah bab, Imam Bukhori
menyebutkan : Berkata Abu Musa Al-Asyarie : “ adalah nabi SAW menutupi pahanya
ketika datang Utsman “.
Maka hadits di atas masuk kategori muallaq, karena Imam Bukhori membuang
semua sanadnya kecuali sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’arie.
Hukum Hadits Muallaq
Hukum hadits muallaq secara umum termasuk tertolak (mardud) karena kehilangan
syarat ittisolu sanad (bersambungnya sanad), dengan membuang satu atau lebih
perawinya, tanpa kita mengetahui keadaan perawi yang dibuang. Namun para
41
ulama mempunyai pembahasan secara khusus, jika hadits muallaq tersebut ada
dalam kitab shohihain. Perlu diketahui bahwa jumlah hadits muallaq dalam shohih
Muslim sangat sedikit, ada yang menyebutkan cuma satu dalam bab Tayammum.
Namun hadits muallaq dalam shohih bukhori banyak, khususnya dalam pembukaan
sebuah bab tertentu. Maka kemudian ulama berpendapat tentang hukum hadits
muallaq dalam shohihain sebagai berikut :
1) Jika disebutkan dengan ungkapan yang kuat dan jelas , seperti : qoola ( ia
mengatakan), atau hakaa ( ia mengisahkan ), atau dzakaro ( ia menyebutkan) ,
maka dihukumi shohih.
2) Jika disebutkan dengan ungkapan yang mengambang, seperti : qiila (dikatakan..
) atau dzukira ( disebutkan .. ), atau hukiya ( dikisahkan … ) , maka perlu diteliti
lebih lanjut, karena bisa masuk shohih, hasan atau dhoif.
Namun meskipun demikian, Ibnu Hajar telah meneliti hadits-hadits muallaq dalam
shohih Bukhori melalui kitabnya “ taghliiqu ta’liq” yang menghasilkan temuan
bahwa sanad-sanad hadits muallaq imam Bukhori adalah bersambung.
2) HADITS MURSAL
Pengertian dan Contoh
Yaitu hadits yang disandarkan oleh Tabi’in langsung kepada Rasulullah SAW.
Misalnya seorang Tabi’in mengatakan : Rasulullah SAW bersabda ……, tanpa
menyebutkan perantara (wasithoh) antara dia dan Rasulullah SAW. Bisa jadi
perantara tersebut adalah seorang sahabat, atau seorang sahabat dan tabiin yang
lain misalnya.
Contoh hadits Mursal : Yang dikeluarkan imam Muslim dalam shohihnya kitab Jual
beli, ia menuliskan (setelah menyebutkan perawi setelahnya) dari Ibnu Syihab, dari
Saiid bin Musayyab, bahwasanya “
Rasulullah SAW melarang jual beli muzabanah (menukar buah kurma belum matang
yang masih di atas pohon dengan kurma yang ada di karung “. Said bin Musayyab
adalah pembesar tabi’in, ia tidak menyebutkan perantara antara dia dengan
Rasulullah SAW, maka tergolong hadits mursal.
Mursal Shohaby
Yaitu Hadist yang dikabarkan oleh sahabat tentang ucapan, perbuatan Rasulullah
SAW, sementara sahabat tersebut tidak mendengar atau melihat langsung, karena
42
masih kecil, atau belum masuk Islam, atau sedang bepergian. Contoh : ibnu Abbas,
ibnu Zubair dan yang lainnya.
Hukum Hadits Mursal :
a) Mursal sahabat disepakati penerimaannya oleh jumhur ulama.
b) Mursal Tabi’in diterima oleh Malikiyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah khususnya
yang berasal dari Kibaru Tabiin seperti Sa’ad bin Musayyab, Hasan Al Bashry,
Ibrahim an-Nakh’iy,
c) Imam Ahmad menolak mursal tabi’in, begitu pula Ibnu Sholah dalam
muqoddimahnya yang kemudian menjadi standar dalam ulumul hadits
secara umum.
3) HADITS MUNQOTHI’
Hadits Munqothi menurut Ulama Muhadditsin adalah : Hadist yang sanadnya
terputus pada salah satu atau lebih dari perawinya, dibawah tingkatan sahabat dan
tidak secara berturut-turut. Sementara menurut Fuqoha , hadits munqothi’ adalah
semua yang tidak bersambung sanadnya.
Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari Syauri, dari Abu
Ishaq, dari Zaid , dari Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau mengangkat Abu Bakar,
maka dia kuat lagi terpercaya “.
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin
Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari
riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah
termasuk hadits yang munqoti’.
4) HADITS MU’DLOL
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya.
Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya : Malik Mengatakan :
Telah sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “ bagi budak (berhak)
mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik sesuai kebiasaan)”. Hadits
ini tergolong hadits mu’dhlol karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat dua
43
tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin Ajlan, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah.
5) HADITS MUDALLAS
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya untuk
menyembunyikan aib sanadnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam,
gambaran umumnya sebagai berikut :
a) Tadlis Isnad : perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui atau
yang ia hidup sejaman dengannya, tetapi sebenarnya ia tidak pernah
mendengar hadits tersebut langsung darinya. Karenanya ia menggunakan
lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan (dari fulan) .. qoola fulan (berkata
fulan), yang tidak menunjukkan arti ia mendengar darinya. Jika perawi
tersebut menggunakan kata yang jelas seperti : aku mendengar dari fulan ,
maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis.
b) Tadlis Taswiyah : Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian
menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif yang terdapat diantara
dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan bertemu, dengan
menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk menjaga
hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua.
c) Tadlis Suyukh : menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk kategori
dho’if dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga
menjadi tidak dikenal. Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud
adalah Abu Bakar bin Abi Daud
B. HADITS DHOIF KARENA PERMASALAHAN PADA PERAWI
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyusun urutan tingkatan kelemahan sebuah hadits dari sisi
ini menjadi tujuh : Maudhu’, Matruk, Munkar, Muallal, Mudroj , Maqlub dan
Mudthorib
1) HADITS MAUDHU’
Pengertian & Hukumnya
44
Hadits yang disebabkan karena perawinya berdusta atas nama Rasulullah SAW maka
disebut dengan hadits maudhu’. Secara istilah, hadits maudhu’ adalah khabar palsu
dan dusta yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Secara tingkatan hadits dhoif, hadits
maudhu’ masuk dalam tingkatan yang paling buruk dari yang lainnya, sehingga
sebagian ulama lain memasukkan dalam kategori yang tersendiri, tidak termasuk
dalam golongan hadits dhoif. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh
meriwayatkan hadits maudhu’ -dengan sepengetahuannya- tanpa menjelaskan
tentang status kepalsuannya tersebut.
Bagaimana Mengenali Hadits Maudhu’ ?
Hadits maudhu’ bisa dikenali melalui beberapa hal sebagai berikut :
a) Pengakuan dari pemalsu hadits tersebut, sebagaimana pengakuan Abi Ismah
Nuh bin Abi Maryam, yang mengaku bahwa ia telah membuat hadits tentang
fadhilah setiap surat dari Al-Quran dengan mengatasnamakan dari Ibnu Abbas.
b) Semacam pengakuan secara tidak langsung. Misalnya seorang meriwayatkan
hadits dari syeikhnya, kemudian ditanya tentang tanggal wafatnya syeikh
tersebut, ternyata wafatnya sebelum ia lahir, sementara hadits itu tidak dikenal
kecuali dari jalurnya sendiri.
c) Bukti pembanding (qorinah) yang ada pada diri perawi, seperti bahwa perawi
masuk dalam golongan rofidhoh sementara haditsnya berkaitan tentang
keutamaan ahlul bait, misalnya.
d) Keterangan dalam matan atau konteks hadits, yang biasanya berlebihan,
menyalahi logika atau penjelasan Al-Quran.
Motivasi membuat Hadits Maudhu’
1) Penodaan dan Pelecehan Agama : Yaitu membuat hadits palsu untuk membuat
keraguan dalam ajaran Islam atau hal-hal baru yang menyesatkan. Misalnya
Muhammad bin Said as-Syaami yang meriwayatkan dari Humaid dari anas
secara marfu’ : “ aku penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah
berkehendak lain “.
2) Menuruti Hawa Nafsu untuk Memenangkan Golongannya : sebagaimana yang
dibuat oleh pengikut rafidhoh yang melebih-lebihkan Ali bin Abi tholib untuk
menguatkan dan memenangkan madzhabnya.
45
3) Upaya mendekati Penguasa : sebagian yang lemah iman berupaya
memunculkan hadits palsu untuk mendapatkan simpati dan kedekatan dengan
para penguasa, baik gubernur maupun khalifah pada waktu tersebut.
4) Mengejar Popularitas dan Ketertarikan Manusia : dengan hadits yang palsu
tersebut ia membuat banyak orang terperangah dengan kisah-kisah hebatnya
yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Contoh dalam hal ini adalah
Abu Said al Madainy yang menjadikan kisah-kisah tersebut diperdengarkan ke
pada orang-orang agar mereka memberikan uang sebagai penghargaannya.
5) Motivasi Beramal Sholih : ini bentuk maudhu’ yang tersembunyi karena
seringkali manusia tertipu, mengingat isi hadits ini berisi kebaikan, berupa
fadhilah dan keutamaan sebuah amal yang sangat memotivasi bagi yang
mendengarnya untuk dikerjakan. Contohnya : “barang siapa yang sholat dhuha
maka mendapat pahala 70 nabi. “
2) HADITS MATRUK
Adalah hadits yang didalam sanadnya ada perawi yang disangka suka berdusta.
Sebab tuduhan dan sangkaan ini bisa jadi karena salah satu dari hal berikut.
Pertama, bahwa memang tidak ada riwayat lain dari hadits tersebut kecuali dari
jalannya. Kedua, perawi dikenal dengan pendusta dalam ucapan-ucapannya
terdahulu, meskipun belum muncul atau terbukti dalam hadits nabawi.
Contoh hadits matruk : Hadits seorang penganut syiah Amru bin Syamir al-Kuufi :
dari Jabir dari Abi Thufail dari Ali dan ‘Ammar keduanya mengatakan : adalah Nabi
SAW melakukan qunut pada sholat fajr, dan memulai bertakbir pada hari arafat
pada sholat shubuh, dan menghentikannya pada sholat ashar hari tasyriq yang
terakhir”. Imam An-Nasa’iy dan Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang
Amru bin Syamir : matrukul hadits .
3) HADITS MUNKAR
Hadits munkar mempunyai setidaknya dua pengertian dengan penekanan yang
berbeda :
1) Hadits yang di dalam sanadnya ada satu perawi yang dikenal buruk
hafalannya, atau sering teledor (lalai) atau terlihat kefasikannya.
46
2) Menurut Ibnu Hajar : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhoif yang
bertentangan dengan riwayat perawi lain yang tsiqoh.
Tingkatan hadits ini termasuk kategori dhoif jiddan (lemah sekali) dan mengikuti
tingkatan hadits setelah matruk. Contoh hadits ini ( pengertian pertama ) : Yang
diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari riwayat Abu Zukair Yahya bin
Muhammad bin Qois dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra secara
marfu’ : “ makanlah balah (jenis kurma kering) dan kurma, sesungguhnya setiap ibnu
adam memakannya, setan menjadi marah. “. Imam An-Nasaiy mengatakan : ini
hadits munkar, diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zukair, dia adalah seorang
syaikh sholeh, tetapi diragukan hafalannya khususnya jika meriwayakan sendirian.
4) HADITS MUA’LLAL
Yaitu hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau aib yang
menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir terlihat selamat dari cacat
tersebut. Aib atau cacat tersebut bisa jadi ada pada sanad ataupun matannya, atau
bahkan keduanya.
Contoh illat yang ada pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dari
Sufyan At-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, ia bersabda : “
kedua penjual dalam masa tenggang pemilihan …… “. Permasalahan sanad di atas
adalah, kesalahan Ya’la bin Ubaid yang menyebutkan perawi sebelum Sufyan at-
Tsauri sebagai Amru bin Dinar, padahal para ulama hadits lain menyebutkan bahwa
yang benar adalah : “Abdullah bin Dinar” bukan “Amru bin Dinar”.
5) HADITS MUDROJ
Yaitu hadits yang diubah susunan sanadnya atau disisipkan dalam lafadz matannya
apa-apa yang bukan bagian dari hadits tersebut, tanpa batasan pemisah. Misal
hadits mudroj: seorang syaikh sedang menyampaikan hadits pada murid-muridnya,
lalu ada sebuah kondisi atau kejadian yang membuatnya berhenti dan mengatakan
sebuah perkataan lain bukan dari hadits, namun disangka oleh murid-muridnya itu
adalah bagian dari hadits yang akan disampaikan. Kondisi ini bisa terjadi pada
sanadnya atau juga matan hadits, dimana ada perkataan lain yang ikut dimasukkan
dalam lafadz hadits tanpa garis pemisah yang jelas dengan hadits aslinya.
47
Contoh hadits Aisyah seputar permulaan wahyu : “ dahulu Nabi SAW betahannuts
(menyendiri) di gua hiro – yaitu beribadah – beberapa malam tertentu “. Ungkapan
“ yaitu beribadah” adalah perkataan Zuhri bukan Aisyah ra.
6) HADITS MAQLUB
Yaitu hadits yang didalamnya ada penggantian atau pembalikan lafadz hadits baik
dalam sanad maupun matannya, penggantian tersebut bisa dengan mengganti yang
awal jadi akhir, atau akhir jadi awal dan semacamnya. Contoh hadits maqlub : yang
diriwayatkan oleh Hamad bin Amru –al kadzzab- dari al-A’masy dari Abi Sholih, dari
Abu Hurairoh secara marfu’ : “ jika engkau bertemu dengan orang musyrikin di jalan
maka jangan mulai memberi salam “. Hadits ini maqlub, sanadnya diganti dari
a’masy, padahal sudah dikenal yang benar adalah dari Suhail bin Sholih dari ayahnya
dari Abu Huroiroh.
7) HADITS MUDHTORIB
Yaitu hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam yang
mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak memungkinkan untuk
digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan tidak memungkinkan pula ditarjih
(dipilih) salah satu dari keduanya.
Bentuk idhtirob dalam hadits ini bisa jadi dalam sanad atau bisa jadi dalam
matannya. Seperti, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Fatimah binti
Qois, ia berkata : Rasulullah ditanya tentang zakat, lalu beliau menjawab : “
sesungguhnya dalam harta kita, ada kewajiban selain zakat”. Sementara Ibnu Majah
dengan riwayat : “ sesungguhnya tidak kewajiban dalam harta selain zakat”.
Selain pembagian dan istilah hadits di atas, terdapat juga hadits dhoif jenis kategori
lain dengan sebab yang beragam pula, kami sebutkan secara sederhana sebagai
berikut :
• Hadits Majhul : hadits yang dalam sanadny ada perwai yang tidak diketahui jarh
dan ta’dilnya.
48
• Hadits Mubham : Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian
sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul),
dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
• Hadits Syadz : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh namun
bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat dan perawinya
lebih tsiqoh
• Hadits Mushohhaf : Yaitu hadits yang terdapat perubahan dari sisi penulisannya,
baik dalam sanad dan matan. Misal dalam matan : ‘ihtajaro ..’ menjadi “
ihtajama ..”, atau misal dalam sanad : nama perawi jamroh mestinya hamzah.
49
MATERI 8 :
ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
A. PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL
Pengertian Aj-Jarh :
1) Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha yajrohujarhan
, yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat
mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat “
jaroha al-hakim asy-syaahid“ yang berarti “hakim itu menolak saksi”.
2) Adapun Menurut Istilah, al-Jarh ialah: “Menampakan suatu sifat rawi yang
dapat merusak sifat ‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan
ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya atau
menyebabkan riwayatnya tertolak”.
Pengertian at-Ta’diil
1) ‘Adl secara bahasa berarti : apa yang tegak dalam hati yang menunjukkan lurus
dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa diterima
kesaksiannya.
2) Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah : yang tidak nampak sifat-sifat
merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima kesaksian dan
pengabaran darinya.
3) Sementara Ta’diil adalah : mensifati perawi dengan sifat-baik baik (tazkiyah)
sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan diterima riwayat darinya.
Dengan demikian, ilmu jarh wa ta’diil adalah : ilmu yang membahas di dalamnya
seputar Jarh (rekomendasi) dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz dan
istilah tertentu, untuk menilai diterima atau ditolak riwayat dari mereka.
B. DASAR KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL
Para Ulama menyatakan legalitas dan kebolehan Jarh wa Ta’dil, serta tidak
memandangnya sebagai ghibah yang diharamkan, berdasarkan beberapa dalil
diantaranya :
50
Pertama : Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.(QS. Al-Hujurat: 6).
Kedua : Rasulullah SAW bersabda tentang Muawiyah dan Abi Jahm ketika Fatimah
binti Qais bertanya kepada beliau perihal keduanya yang sama-sama meminangnya.
Rasulullah SAW bersabda :” Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari
pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah
sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim)
Ketiga : Banyak hadits lain yang menyebutkan Rasulullah SAW memuji dan
merekomendasikan beberapa sahabatnya yang mulia, bahkan ada yang disebutkan
sebagai seorang yang mempunyai nilai kesaksian setara dua kesaksian sahabat, yaitu
Abu Khuzaimah al Anshori.
Selain itu semua, sesungguhnya al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa
sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Karena itulah, para ulama
membolehkannya dalam rangka menjaga kepentingan syari’at Islamiyah, bukan
mencela dan membuka aib orang lain. Semua dalam rangka memelihara sumber
syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
C. KETENTUAN JARH WA TA’DIIL
Berikut beberapa ketentuan dalam jarh dan ta’diil, antara lain :
1) Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara
apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “ Anda
mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa
menyebut-nyebutnkebaikannya”
2) Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat
membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3) Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama
senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan
51
hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi
seorang ulama cukup mengatakan: “ la yakun tastaqiimu lisan” artinya“ kurang
istiqomah dalam berbicara” .
4) Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para
ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah
disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak
menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”.
Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh,
umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa
diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau
tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Cara Mengetahui Sifat ‘Adalah seorang Perawi
Untuk mengetahui ‘adalahnya seorang perawi menurut Ujaj al-Khatib ada dua jalan:
Pertama : Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila
seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas,
Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
Kedua : Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan
seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara
mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
D. TINGKATAN DAN LAFADZ-LAFAZD JARH DAN TA’DIL
Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat ‘adalah sekalipun, tidak berarti
mereka pada tingkatan yang sama. Karena itulah terdapat istilah dan lafadz khusus
dikalangan ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi, baik dari
sisi ‘adl maupun jarah
Marothibu At-Ta’diil ( Tingkatan Ta’diil)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-ta’diil:
1) Tingkatan Pertama : Menunjukkan rekomendasi secara mubalaghoh
(berlebihan), dan menggunakan isim tafdhiil untuk menunjukkan paling utama.
Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang yang paling kuat
52
haditsnya), autsaqo naas ( paling terpercaya), adhbatu naas ( paling kuat
hafalannya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukkan penguatan sifatsifat
adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan misalnya: tsiqoh tsiqoh ( benarbenar
tsiqoh ), tsiqoh ma’muun (terpercaya dan terjamin).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan sifat tsiqoh tapi
tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah .
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi
memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara khusus.. Lafadz yang
digunakan misalnya: la ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq,
ma’muun.
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang samar atau tidak menunjukan
bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz yang digunakan misalnya: fulaan
syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas ( orang meriwayatkan darinya)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang mengarah atau mendekati pada
tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits , yuktabu haditsuhu ( tercatat
haditsnya)
Hukum Tingkatan Ta’diil :
- Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya layak dijadikan hujjah
meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
- Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tapi
haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat ketelitian mereka dengan
membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh.
- Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan haditsnya bisa
dituliskan untuk i’tibaar semata.
Marothibu Al-Jarh ( Tingkatan Jarh)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh:
1) Tingkatan Pertama : Mengemukakan sifat perawi untuk menunjukkan
kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan. Lafadz yang digunakan
misalnya : fiihi dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi maqool ( dia banyak
dibincangkan), layyinul hadits ( lemah haditsnya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu
lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif (
53
dia lemah ), lahu manakiir (banyak yang mengingkarinya), majhuul ( dia tidak
dikenal).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits yang
diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya tidak dituliskan. Lafadz yang
digunakan : la yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits darinya), la tahillu riwayah
( tidak boleh meriwayatkan) ,
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa
perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa muttaham bil
kadzib, (dia tertuduh sbg pendusta)atau muttaham bil wad’iy ( dia dianggap
pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak
terpercaya)
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi
memang pendusta dan pemalsu.. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa
kadzzab (dia pendusta), atau huwa waddhoo’ (dia pemalsu hadits), atau juga
dajjal (dia seperti dajjal /pendusta)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi
yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan). misalnya dengan kata-kata:
akdzabu nnas ( paling pendusta) , ruknul kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi
muntahal kadzib (dia puncaknya kedustaan).
Hukum Tingkatan Jarh :
- untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak bisa dijadikan
hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja.
- Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam, maka
haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak perlu
dianggap ada.
E. PERTENTANGAN JARH DAN TA’DIL
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorag
perawi,. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Pada suatu kondisi hal tersebut tidak bisa dikompromikan, maka pendapat yang ada
sebagai berikut :
54
a) Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak
dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat
jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui
(cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara
jeli oleh orang yang menta’dil.
b) Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari
ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan
mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama
yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil
sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
c) Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah
satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa
kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang
menguatkan salah satunya.
d) Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali
setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya
seorang perawi.
Menurut Ujaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh
dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima
atau ditolaknya periwayatan mereka. ( disarikan dan digubah dari artikel Endad
Musaddad).
55
MATERI 9 :
RAMBU-RAMBU MEMAHAMI SUNNAH
A. ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS
Kisah Umar ra dan Abu Musa Al-Asyari
Dalam riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Aku sedang dudukduduk
dalam majlis orang-orang Ansar di Madinah lalu tiba-tiba Abu Musa ra.
datang dengan ketakutan. Kami bertanya: Kenapa engkau? Ia menjawab
(menceritakan kejadian yang membuatnya takut) : Umar menyuruhku untuk datang
kepadanya. Aku pun datang. Di depan pintunya, aku mengucap salam tiga kali tetapi
tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi, ketika bertemu lagi, ia bertanya: Apa
yang menghalangimu datang kepadaku? Aku menjawab: Aku telah datang
kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan pintumu. Setelah tidak ada
jawaban, aku kembali. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila salah seorang
di antara kalian minta izin tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka
hendaklah ia kembali. Mendengar hal tersebut Umar bin Khottob mengatakan
dengan tegas : “ Demi Allah, engkau harus mempunyai bukti bahwa ada saksi lain
yang mendengar dari Rasulullah SAW “.
Ubay bin Ka’b yang memahami ketakutan Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan : “Demi
Allah, sungguh tidak perlu bersaksi untukmu dalam masalah ini, kecuali yang paling
kecil di antara kami”. Karena pada waktu itu Abu Said Al Khudry adalah yang terkecil,
maka ia pun memberikan kesaksian kepada Umar.
Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar
bin Khottob ra. dalam menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg
merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi
SAW. Sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat Abu Musa Al
Asy’ari ra :
“ Saya tidak menuduh dan meragukanmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan
mengada-adakan perkataan atas nama rasulullah SAW”.
Abu Musa dan Aisyah ra.
56
Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : “
Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya”. maka
Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya,
melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata
: Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari
Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT
akan menambah azab bagi orang-orang kafir”. Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits
abu Hurairah tersebut bertentangan dg ayat al-Qur'an :” Dan sesungguhnya
seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat yang lain dari Umar ra,
Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari
segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun Abu Hurairah) shahih, maka
ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdzabu artinya yata'allama (merasa
sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami
hakikat kehidupan, sehingga mereka menangisinya.
B. KERANGKA DALAM MEMAHAMI HADITS
Pertama : Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi
Dhau'il Qur'an )
Artinya memahami fungsi as-Sunnah yang merupakan penjelas (bayanu taudhih,
tafsir) dan juga menambah apa yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit),
seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh
as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam hadits yang berbunyi : “ Laut itu suci airnya dan
halal bangkainya/ikan”. (HR Daruqutni)
Kedua : Menggabungkan hadits-hadits dalam satu pengertian (Jam'ul ahadits fi
maudhu'in wahid)
Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat satu
pengertian yg benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yg melewati kedua mata kaki di
neraka) yang bertentangan dengan hadits Abubakar ra yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW membolehkan kain Abubakar melewati mata kakinya, karena ia
tidak termasuk mereka yang sombong. Sehingga bisa didapatkan pengertian bahwa
ternyata yang diancam masuk neraka dengan isbalnya adalah jika dilakukan karena
57
kesombongan, setelah digabung dg hadits khuyala' (orang2 yg masuk neraka karena
melabuhkan kain karena sombong).
Atau hadits lain yang menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara
hadits lainnya menyatakan tidak batal. Ternyata setelah digabungkan ditemukan
bahwa dalam hadits pertama orang tersebut berbekam sambil mengghibbah dan
berdusta sehingga batalnya karena hal tersebut dan bukan karena berbekamnya.
Ketiga : Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi dhau'i asbab wal
mulabisat)
Seperti hadits Rasulullah SAW : “ kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia
kalian “ (HR Muslim). Hadits tersebut harus ditafsirkan berdasarkan sebabnya, yaitu
Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk
kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orangorang
tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk
kurma tersebut yang berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW :
Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Artinya dalam masalah sarana dan
teknologi teknis bukan masalah-masalah atau dasar-dasar yang telah ada hukumnya
dalam syariat Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.
Keempat : Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil
ahadits)
Jika terdapat dua hadits yang seolah bertentangan secara makna, maka hendaknya
dilakukan tiga upaya berikut :
1) Digabungkan (thariqatul jam'i) : Seperti dlm suatu hadits disebutkan Nabi SAW
meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits-hadits lain Nabi SAW
meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam
hadits pertama adalah sikap orang miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak
sombong).
2) Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap
bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan,
sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang sebelumnya. Seperti
hadits nikah Mut'ah (semacam kawin kontrak) yang banyak dipakai kaum Syi'ah,
memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam sebuah peperangan
tapi kemudian dihapus selama-lamanya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya
58
dan dampaknya. Atau hadits yg melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus
sendiri oleh Nabi SAW.
3) Dipilih mana yg lbh kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka
barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya
bisa juga keduanya shahih tapi yg satu lebih shahih dari yg lain, maka yg dipakai
yg lebih shahih tersebut).
Kelima : Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal
ushul la lil wasa'il)
Contohnya adalah sebagai berikut :
1) Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang
menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah,
dll. Ternyata ushul (konten asli) dari hadits tentang pakaian tersebut adalah
menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.
2) Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang secara makna
pokoknya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya.
Demikian pula berkuda, yang pokok mengendarai kendaraannya dan bukan
kudanya.
3) Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan),
ternyata yang pokok adalah metode shock terapy nya seperti dg akupunktur,
refleksi, dsb.
Kelima : Menegaskan apa yg ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu
alfazh al hadits).
Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang
dilalahnya atau makna yang ditunjukkan adalah jika untuk diagungkan, dipuja, atau
berupa benar-benar lukisan tiga dimensi (patung), karena ternyata gambar yg telah
dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW. (Dr.Daud
Rasyid – Materi Madah 1427 dengan beberapa perubahan)
59
SUMBER DAN BAHAN
Madah Tarbiyah 1427
Taisyir Mustholahul Hadits – Dr. Mahmud Mustofa Thohan
Mabahits fi Ulumil Hadits – Syaikh Manna’ul Qathan
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/component/content/article/17-fikihkeseharian/
1273-sholat-di-perjalanan
http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/sejarah-singkat-penulisan-danpembukuan-
hadits/
http://www.rasio.wordpress.com
http://kangsaviking.wordpress.com/hadist-dhoif/
http://www.eramuslim.com/ustadz/hds/8111173131-tingkatan-dan-jenishadits.
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-shahih/
http://www.hidayatullah.com/kajian-a-ibrah/8937-kedudukan-as-sunah-dalamsyariat-
islam/